Kata ikhlas mengandung beberapa pengertian. Sebagian ulama mengartikan bahwa ikhlas berarti beramal hanya mengharap keridhaan Allah semata. Sebagian ulama lagi mengartikan bahwa ikhlas artinya beramal hanya untuk Allah semata tanpa sedikitpun mengharap balasannya di dunia. Dan ada juga ulama mendefinisikan bahwa ikhlas berarti beramal hanya benar-benar untuk Allah.
Dari sekian banyak definisi ikhlas, kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama, yaitu Allah Ta’ala. Karena bagaimanapun keadaannya, keikhlasan dituntut untuk siap berjuang dan berkorban demi meraih keridhaan Allah semata.
Arti berjuang disini, ia harus berusaha keras dalam meraih keridhaan Allah dengan berdakwah dan mensyiarkan agama dan ilmu Allah. Sedangkan arti berkorban disini, ia harus mengorbankan harta, waktu ataupun tenaganya untuk berdakwah dan mensyiarkan agama dan ilmu Allah. Jika di dalam hatinya masih terbersit harapan akan mendapat balasan di dunia, tentu keikhlasan itu akan sirna secara perlahan-lahan.
Menerapkan sikap ikhlas sangatlah sulit, namun jika dilatih dan diistiqomahkan secara berkala tentu akan bisa dilakukan. Misal, jika seseorang beramal berupa harta, walaupun jumlahnya sedikit tetapi terus-menerus (istiqomah), maka diantara amal-amal itu pasti ada yang ikhlas. Akan tetapi sebaliknya, jika seseorang beramal banyak, tetapi sangat jarang, maka keikhlasannya sulit diperoleh. Begitu juga amaliah-amaliah lainnya, baik amal berupa ilmu (mengajar), berupa tenaga (membantu) ataupun berupa doa (mendoakan). Jika amaliahnya sedikit atau ringan/sepele tetapi dilakukan terus-menerus (istiqomah), tentu peluang mendapatkan keikhlasan akan lebih besar dibandingkan amaliah besar tetapi jarang dilakukan.
Ada beberapa riwayat atau kisah tentang keikhlasan para ulama dalam mensyiarkan agama dan ilmu Allah, di antaranya:
1.) KH. Machrus Ali (Pengasuh Ponpes Lirboyo) dikenal sebagai seorang ulama yang kaya, dihormati umat maupun pejabat. Suatu hari beliau pernah berkata, “Saya khawatir keikhlasanku dalam beramal sudah diganti (dibalas) di dunia. Sehingga kelak saya tidak akan mendapatkannya di akhirat”.
2.) KH. Maimoen Zubair sangat jarang menerima bisyaroh (upah) sebagai pendakwah dari pengundangnya (panitia). Beliau khawatir kalau-kalau dakwahnya hanya dihargai dengan urusan duniawi semata.
3.) KH.M. Arwani Amin (Pendiri Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an) juga melarang santri-santrinya untuk mengikuti lomba, seperti; MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), MHQ (Musabaqah Huffadz Qur’an), dan lomba lain yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Larangan tersebut ditulis dalam sebuah wasiat. Beliau khawatir kalau-kalau keikhlasan santri-santrinya dalam membaca atau menghafal Al-Qur’an akan hilang jika hanya dihargai dengan urusan duniawi belaka.
4.) KH. Ulinnuha Arwani juga kurang berkenan jika ada seorang ulama menceritakan keistimewaan-keistimewaan abahnya (KH. Arwani) di depan beliau. Hal ini untuk menghindari sikap ujub (bangga diri) hingga akhirnya memudarkan sikap ikhlasnya.
Dan banyak juga ulama besar lainnya yang lebih suka menghindari dari publikasi atau terkenal. Mereka beranggapan bahwa keikhlasannya dalam mensyiarkan agama dan ilmu Allah harus dijaga dari hal-hal yang berbau duniawi.
Itulah gambaran bahwa ulama yang benar-benar ulama sangat takut dan khawatir jika amaliahnya hanya dibalas di dunia, itu artinya keikhlasannya dalam beramal akan hilang. Mereka sangat takut dan khawatir jika amaliah-amaliahnya hanya dibalas di dunia (secara kontan) sehingga nantinya kelak di akhirat tidak mendapatkan apa-apa.
Wallahu A’lam
Al-Faqier Ila Rahmati Rabbih
Saifur Ashaqi
Kaliwungu Kota Santri