Firman Allah Swt. :
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat”. (QS. Al-Qashash: 76).
Disebutkan oleh Ibnu Juraij, nama lengkap Qarun adalah Qarun bin Yash-har bin Qahits bin Lawi bin Ya‘qub. Ia merupakan putra paman atau sepupu Nabi Musa. Pasalnya, Nabi Musa sendiri adalah putra Imran, sedangkan Imran adalah putra Qahits. Dengan kata lain, Qarun masih satu kakek dengan Nabi Musa, yakni kakek Qahits.
Baca: Ayat-ayat Al-Qur'an Tentang Keburukan Qarun
Adapun jumlah kekayaannya sangatlah melimpah. Saking melimpahnya, sekelompok orang yang kuat keberatan membawa kunci-kunci gudangnya. Dalam riwayat Khaitsamah disebutkan, untuk mengangkut kunci gudang kekayaan Qarun dibutuhkan 60 bighal (sejenis kuda kecil). Ukuran kuncinya sebesar jari. Bahannya terbuat dari kulit. Dan setiap kunci digunakan untuk satu gudang.
Betapa melimpahnya kekayaan yang dimiliki Qarun! Namun, di balik kekayaannya, Qarun seorang sosok yang sombong dan gemar pamer kemegahan. Di antara kesombongannya, ia merasa semua kekayaannya diperoleh karena kedalaman ilmunya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat 78, Qarun berkata: “Sesungguhnya aku diberi (harta) itu semata-mata karena ilmu yang ada padaku”. Tidakkah dia tahu bahwa sesungguhnya Allah telah membinasakan generasi sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta?. (QS. Al-Qashash: 78)
Qarun pun suka memamerkan kemegahan kepada kaumnya (masyarakat). Itu pula yang dikisahkan dalam ayat berikutnya, “Maka, keluarlah Qarun kepada kaumnya dengan kemegahannya.” (QS. Al-Qashash: 79)
Para ulama tafsir menjelaskan, Qarun keluar dengan baju mewah dan diiringi dengan 300 gadis berbaju merah dan 4000 kendaraan kuda. Tak heran iring-iringan Qarun itu mengundang decak kagum orang-orang yang gandrung (cinta) terhadap harta kekayaan, sebagaimana yang terekam dalam ayat 79, Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: “Andaikata kita mempunyai harta kekayaan seperti yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Qashash: 79).
Namun, tak sedikit kaumnya yang mengingatkan, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri (farihin).” (QS. Al-Qashash: 76)
Sebagian ulama menafsirkan, istilah “farihin” di sana juga berarti takabur, zalim, berbuat kerusakan, arogan, dan tak mau bersyukur terhadap nikmat.
Tak hanya itu, Qarun juga seorang kaya raya yang sangat kikir dan menolak mengeluarkan zakat. Hal itu seperti yang diungkap oleh Ibnu Abbas. Disebutkan, ketika datang perintah zakat, Nabi Musa pergi menemui Qarun dan memerintahnya mengeluarkan zakat sebesar satu dinar dari setiap seribu dinar hartanya, satu dirham dari setiap seribu dirham, satu kambing dari setiap seribu kambing, dan seterusnya.
Setelah Qarun menghitung seluruh hartanya, ternyata jumlah zakatnya sangat besar. Kekikiran dan kegandrungannya pada harta pun mulai menghalangi hatinya untuk mengeluarkan zakat. Alih-alih mengeluarkan zakat, ia malah mengumpulkan sekelompok bani Israil dan mencoreng nama baik Nabi Musa. Ia berkata: “Selama ini kalian taat terhadap apa yang diperintahkan Musa. Tahukah kalian, sekarang Musa ingin mengambil harta kalian.” Mereka menjawab: “Engkau adalah pembesar dan pemimpin kami. Perintahlah kami apa pun yang engkau mau.”
Akibat kesombongan dan kekikirannya, Qarun pun ditenggelamkan ke dalam bumi. Demikian seperti yang diungkap dalam ayat 81, “Lalu, Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri”. (QS. Al-Qashash: 81)
Baca juga: Kisah Qarun Menuduh Nabi Musa Berbuat Zina
Kala itu, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa untuk memerintah bumi apa pun yang diinginkannya. Begitu Nabi Musa datang dengan wajah sangat marah, barulah Qarun merayu: “Wahai Musa, sayangilah aku.” Sementara Nabi Musa tak bergeming.
Beliau lantas berkata pada bumi: “Wahai bumi, ambillah mereka!”
Seketika, rumah Qarun pun mulai bergetar. Qarun dan antek-anteknya mulai dibenamkan hingga bagian lututnya. Rumahnya ikut turun sedalam lutut. Qarun kembali merayu: “Sayangilah aku, Musa!”. Rumahnya kembali berguncang. Kini, Qarun dan kawan-kawannya kembali terbenam hingga bagian pusar. Demikian pula rumahnya. Qarun terus merayu: “Wahai Musa, sayangilah aku.”
Sementara Nabi Musa kembali meminta bumi: “Wahai bumi, ambillah mereka!”
Rumah Qarun berguncang lagi. Sementara Qarun dan kawan-kawannya terus terbenam hingga bagian tenggorokannya. Demikian pula rumahnya. Qarun lagi-lagi menjerit: “Wahai Musa, sayangilah aku.” Namun Nabi Musa tak bergeming. Beliau terus meminta bumi menelannya. Hingga akhirnya Qarun dan kawan-kawannya hilang seluruhnya ditelan bumi. Tak lama terdengar suara, “Wahai Musa, apa yang membuatmu bersikap demikian? Padahal demi kemuliaan-Ku, andai dia (Qarun) berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku rahmati.”
Ibnu Abbas meriwayatkan, sampai hari Kiamat, Qarun akan ditenggelamkan bumi hingga lapisan ketujuh. Sementara Ibnu Juraij menyebutkan, setiap hari ia ditenggelamkan setinggi tubuhnya. Namun, walau sampai hari Kiamat, ia tidak akan sampai (tembus) ke lapisan bumi paling bawah.
Setelah Qarun beserta seluruh hartanya tenggelam ke dalam perut bumi, orang-orang yang tadinya takjub dan tergiur pada kekayaan Qarun pun tersadar sebagaimana disebutkan dalam ayat 82, Orang-orang yang kemarin mengangan-angankan kedudukannya (Qarun) itu berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya dan Dia (juga) yang menyempitkan (rezeki bagi mereka). Seandainya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah tidak akan beruntung orang-orang yang ingkar (terhadap nikmat)”. (QS. Al-Qashash: 81)
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Referensi:
Situs PBNU
Kitab Tafsir Ath-Thabari, Jilid 19, hal. 617
Kitab Tafsir Ath-Thabari, Jilid 19, hal. 623
Kitab Ruhul Bayan, jilid 6, hal. 435
Kitab Tafsir Ibnu Abi Hatim, jilid 9, hal. 3019
Kitab Al-Hidayah ila Bulugh al-Hidayah, jilid 8, hal. 5580