Firman Allah :
وَلَا تَشْتَرُوْا بِآيَاتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا
Dan janganlah kamu menukar/menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit/murah. (QS. Al-Baqarah: 41)
Ayat diatas menjelaskan, para pemuka agama (ulama) Yahudi diingatkan agar tidak menukar/menjual ajaran agama dengan kemegahan duniawi. Karena betapapun banyaknya yang kamu terima, itu adalah sedikit dan murah dibandingkan dengan apa yang kamu bayar, yaitu kesengsaraan duniawi dan ukhrawi.
Ayat diatas juga tidak menjelaskan apa yang menjadi imbalan dari ayat-ayat Allah. Ayat diatas hanya menyebut kata “harga yang sedikit” tanpa menjelaskan apa yang diperoleh dari harga yang sedikit itu. Jika penggalan ayat ini secara lengkap, bunyinya adalah: Janganlah kamu menukar/menjual ayat-ayat-Ku dengan sesuatu yang kecil, yakni nilainya. Sesuatu yang kecil itu tidak dijelaskan oleh ayat ini. Boleh jadi berupa kedudukan, harta, atau apa saja dari kemegahan duniawi. Agaknya hal tersebut sengaja tidak disebutkan untuk mencakup segala hal yang berkaitan dengan kemegahan duniawi.
Ayat diatas ditutup dengan perintah bertakwa karena takut kepada-Nya merupakan salah satu cara untuk taat melaksanakan perintah dan patuh menjauhi larangan. Rasa takut, sejak dahulu sampai kini masih merupakan faktor utama yang menciptakan rasa keberagaman.
Selanjutnya, setelah ayat diatas melarang terjerumus ke dalam kesesatan, tuntunan selanjutnya adalah melarang mereka menyesatkan orang lain.
Sebagian ulama menjadikan ayat diatas sebagai salah satu dasar melarang menerima upah (bayaran) dalam mengajar Al-Qur’an, bahkan mengajar agama. Pemahaman demikian melalui ayat diatas terlalu dipaksakan. Betapapun demikian, larangan menerima upah (bayaran) untuk mengajar Al-Qur’an bukanlah pendapat yang kuat.
Mayoritas ulama sejak dahulu membolehkan menerima upah dari mengajar Al-Qur’an atau mengajar agama, antara lain pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Salah satu alasan mereka adalah sabda Nabi saw. melalui Sahabat Ibnu Abbas ra. yang berbunyi: “Sesungguhnya yang paling wajar kamu ambil sebagai upah (bayaran) adalah mengajar kitab Allah”.
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para pakar hukum (ahli fiqih) Madinah sepakat membolehkan perolehan upah (bayaran) mengajar Al-Qur’an atau mengajar agama.
Baca juga: Memaknai Wasiat KH.M. Arwani Amin
Agaknya, ayat diatas merupakan kecaman kepada pemuka-pemuka agama (ulama) Yahudi yang menuntut imbalan (upah) atas fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ajaran agama. Ini jelas berbeda dengan mengajar membaca Al-Qur’an atau menjelaskan kandungannya. Pengajaran kitab suci Al-Qur’an dengan menerima upah (bayaran), bukanlah menukar atau mengabaikan ayat-ayat itu, tetapi justru menyebarluaskannya dan mengukuhkan pemahaman tuntunannya kepada yang diajar.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Sumber: Tafsir Al-Misbah karya Prof. Dr. KH.M. Quraish Shihab, MA.