Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan membaca Al-Qur’an tidak terhitung jumlahnya, salah satunya adalah hadits berikut ini:
أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Ibadah yang paling utama bagi umatku adalah membaca Al-Qur’an”. (HR. Baihaqi)
Tidak sedikit dari masyarakat muslim yang menjadikan keahliannya dalam membaca Al-Qur’an sebagai mata pencaharian. Misalnya, dengan cara mengajar Al-Qur’an atau membaca Al-Qur’an pada momen-momen tertentu, seperti pada sebuah acara seremonial di beberapa hari besar Islam. Sebenarnya bolehkah bagi mereka mengambil upah atas jasa membaca Al-Qur’an atau mengajar Al-Qur’an yang telah mereka lakukan?
Dalam beberapa hadits telah dijelaskan beberapa kejadian yang dialami oleh para sahabat dalam menyikapi hal di atas, misalnya seperti yang tercantum dalam hadits shahih berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri ra. bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata: “Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?” Para sahabat pun menjawab “Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami.” lalu mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat membaca surah Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka memberikan kambing. Para sahabat berkata, “Kami tidak akan mengambilnya, sampai kami bertanya pada Rasulullah.” Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: “Apa itu Ruqyah? Ambillah, dan berilah bagian untukku”. (HR. Bukhari)
Dalam beberapa redaksi hadits yang lain, Rasulullah melanjutkan perkataannya kepada para sahabat:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah (Al-Qur’an).” (HR. Bukhari)
Menanggapi hadits di atas, salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam himpunan fatwanya:
فمن هذا الحديث الصحيح يستفاد أن أخذ الأجرة على القرآن جائزة لأن النبی أقر الصحابة على أخذ الغنم في مقابل الرقية بفاتحة الكتاب وأخذ نصيبه معهم، و عمم الحكم فقال: "إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله". وهذا أقوى ما يكون في إفادة العموم. وأما حديث: "اقرأوا القرآن ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه ولا تأكلوا به" فهو حديث ضعيف في إسناده انقطاع، وعلى فروض صحته فالحديث الذي ذكرناه أصح وأقوى، لأنه ثبت في الصحيحين وهذا الحديث في "مسند أحمد"، والمسند لا يختص بالصحيح بل فيه الضعيف كما هو معلوم.
“Berdasarkan hadits ini, dapat ditarik kepahaman bahwa mengambil upah atas membaca Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan, sebab Nabi membiarkan sahabat untuk mengambil kambing sebagai ganti atas bacaan mantra (meruqyah) berupa surah Al-Fatihah dan beliau mengambil bagian (atas kambing tersebut) bersama mereka, lalu beliau mengglobalkan hukum dengan berkata: ‘Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah (Al-Qur’an)’. Dalil ini merupakan paling kuat yang mengindikasikan pengglobalan hukum (boleh)”.
Sedangkan hadits “Bacalah Al-Qur’an, jangan menjadikannya kering, jangan menjadikannya mahal dan jangan (mencari) makan dengan Al-Qur’an” adalah hadits yang lemah, sanadnya terputus. Jika dikira-kirakan keshahhihan hadits tersebut, maka sesungguhnya hadits yang telah dijelaskan di atas lebih shahih dan lebih kuat, sebab terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari-Muslim), sedangkan hadits ini terdapat dalam kitab Musnad Ahmad. Adapun kitab musnad tidak hanya (mencantumkan) hadits shahih saja, tapi di dalamnya juga terdapat hadits yang lemah, seperti halnya keterangan yang telah diketahui” (Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari, al-Hawi fial-Fatawi al-Ghumari, hal. 36)
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kajian lintas mazhab, ulama mazhab Hanafi berpandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa mengambil dan memberi upah atas bacaan Al-Qur’an merupakan hal yang terlarang bahkan tergolong sebagai perbuatan yang mengakibatkan dosa. Berbeda halnya menurut mazhab yang lain yang notabene memperbolehkan hal di atas. Perbedaan pendapat ini secara sistematis disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
وقد نص الحنفية على أنه لا يجوز قراءة القرآن بأجر ، وأنه لا يترتب على ذلك ثواب ، والآخذ والمعطي آثمان ، وأن ما يحدث في زماننا من قراءة القرآن بأجر عند المقابر وفي المآتم لا يجوز . والإجارة على مجرد القراءة باطلة ، وأن الأصل أن الإجارة على تعليمه غير جائزة لكن المتأخرين أجازوا الإجارة على تعليمه استحسانا. وكذا ما يتصل بإقامة الشعائر كالإمامة والأذان للحاجة . وأجاز مالك والشافعي أخذ الأجر على قراءة القرآن وتعليمه . وهو رواية عن أحمد . وقال به أبو قلابة وأبو ثور وابن المنذر ، لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم زوج رجلا بما معه من القرآن وجعل ذلك يقوم مقام المهر ، فجاز أخذ الأجرة عليه في الإجارة
“Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan adanya imbalan dan hal tersebut tidak mengakibatkan wujudnya pahala, orang yang mengambil dan memberi upah sama-sama terkena dosa. Realita yang terjadi pada masa kita berupa membaca Al-Qur’an di sisi kubur dan di tempat umum merupakan hal yang tidak diperbolehkan secara syara’. Akad ijarah (menyewa jasa) atas bacaan Al-Qur’an merupakan hal yang batal dan hukum asal dari akad ijarah atas mengajar Al-Qur’an adalah tidak diperbolehkan. Tetapi ulama muta’akhirin (kontemporer) memperbolehkan akad ijarah atas mengajar Al-Qur’an dengan dalil istihsan. Begitu juga pada hal-hal yang berhubungan dengan syiar agama, seperti menjadi imam dan muazin karena merupakan suatu kebutuhan. Imam Malik dan Imam Syafi’i memperbolehkan mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an dan mengajarkannya. Pendapat demikian juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Qalabah, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir, sebab Rasulullah pernah menikahkan seseorang dengan bacaan Al-Qur’an yang ia kuasai dan hal tersebut diposisikan sebagai mahar, maka diperbolehkan mengambil upah atas Al-Qur’an dalam akad ijarah.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 1, hal. 291)
Walhasil, tentang hukum mengambil upah dari bacaan Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama memperbolehkan, sedangkan menurut mazhab Hanafi tidak diperbolehkan. Perbedaan pendapat ini sekaligus mengakomodasi beberapa pandangan ulama yang tersebar di Nusantara yang sebagian kalangan memperbolehkannya dan sebagian lain mengharamkannya.
Menyikapi hal demikian, sebaiknya kita selektif dalam memilih pendapat. Jika memang dalam keadaan mendesak, tidak masalah jika kita mengambil upah atas jasa bacaan atau mengajar Al-Qur’an yang telah kita lakukan dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan hal tersebut. Namun, ketika dalam keadaan lapang dan kondisi ekonomi yang mapan, sebaiknya kita tidak mengambil upah atas Al-Qur’an yang kita baca atau kita ajarkan, terlebih ketika guru-guru kita melarang terhadap perbuatan tersebut. Wallahu A’lam.
Penulis: Ustadz M. Ali Zainal Abidin (Pengajar di Pesantren Annuriyah Jember)
Sumber: Situs PBNU