Harun Ar-Rasyid, salah seorang khalifah terbaik di masa Dinasti Abbasiyah mempunyai seorang putra yang enggan menikmati fasilitas negara. Ia lebih memilih hidup sederhana bersama seorang nenek tua.
Kisah ini disampaikan oleh Abdullah bin Al-Faraj sebagaimana tercatat dalam kitab 'Uyunul Hayat (Ibnul Jauzi, 'Uyunul Hikayat, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], halaman 69-71).
Dikisahkan, Abdullah bin Al-Faraj membutuhkan tukang untuk memperbaiki rumahnya. Ia lantas pergi ke pasar agar bisa mencari dan memilih pekerja yang cocok. Biasanya, para pekerja ini mangkal di pasar untuk bertemu dengan calon klien yang akan mempekerjakan mereka.
Setelah melihat beberapa orang pekerja, pandangan Abdullah tertuju pada seorang pemuda yang duduk di pojok. Dia memakai baju wol kasar sambil memegang alat pertukangan.
"Apakah kamu mau bekerja di tempatku?" tanya Abdullah
"Mau," jawab pemuda itu
"Berapa upahmu sehari?" tanya Abdullah lagi
"1 dirham dan 1 daniq (1/6 dirham)," jawab pemuda
"Oke, deal. Mari ikut ke rumahku," ajak Abdullah
Ketika diajak Abdullah, pemuda ini belum mau bergegas karena ada persyaratan yang ingin dia ajukan. Jika bisa dipenuhi, ia baru mau berangkat.
"Apa syaratnya?" tanya Abdullah.
Pemuda itu lantas menjawab bahwa ketika nanti ia bekerja kemudian terdengar kumandang azan Zuhur dan Asar, ia akan istirahat dan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.
"Baik. Saya setuju," jawab Abdullah mantap.
Ketika sudah sampai rumah, Abdullah mulai melakukan briefing dan menjelaskan beberapa pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemuda itu, di antaranya adalah memindahkan beberapa barang dari satu tempat ke tempat lain.
Selama bekerja, pemuda ini cukup profesional dan fokus dengan pekerjaannya, hingga terdengarlah kumandang suara azan.
"Wahai hamba Allah, muazin sudah mengumandangkan azan. Saya permisi dulu mau ke masjid," ucapnya yang langsung mendapat persetujuan Abdullah.
Usai melaksanakan shalat Zuhur di masjid, pemuda ini melanjutkan pekerjaannya. Saat azan Asar berkumandang pun demikian, pemuda itu kembali meminta izin untuk pergi ke masjid.
Hari sudah sore, pemuda itu berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Transaksi pun dilakukan.
Beberapa hari kemudian, Abdullah bin Al-Faraj kembali membutuhkan tukang. Istrinya meminta agar mengundang pemuda itu lagi, jangan yang lain, karena dianggap cocok dan kemarin dia bekerja dengan sangat baik. Abdullah setuju dengan pendapat istrinya.
Abdullah pun pergi ke pasar untuk mencari pemuda yang berprofesi sebagai tukang itu. Setelah bolak-balik mencari, tetap saja pemuda yang dia cari tidak ditemukan. Merasa penasaran, ia pun menanyakannya pada pekerja yang sedang mangkal.
"Apakah engkau mencari pemuda yang tampak tak bergairah yang ada di pojokan itu? dia hanya mangkal pada hari Sabtu," jawab salah seorang pekerja di pasar.
Mendengar jawaban tersebut, Abdullah bergegas pulang karena ia dan istrinya hanya mau mempekerjakan pemuda yang kemarin. Ia berencana akan kembali mencarinya pada hari Sabtu mendatang.
Hari Sabtu pun tiba, Al-Faraj berangkat lagi ke pasar untuk mencari pemuda yang beberapa hari lalu bekerja di rumahnya. Benar saja, ternyata pemuda itu sudah ada di tempat biasanya, di pojokan.
"Apakah kamu mau bekerja lagi di tempatku?" tanya Abdullah.
"Ya. Engkau sudah tahu nominal upahku dan syarat dariku," jawab pemuda itu.
Abdullah pun sepakat dengan nominal upah dan syarat yang sama seperti sebelumnya.
Ketika sudah sampai di rumah Abdullah, pemuda itu kembali bekerja dengan baik dan profesional. Saat terdengar kumandang azan Zuhur dan Asar, seperti biasa pemuda itu memohon izin pergi ke masjid.
Singkat cerita, pekerjaan pemuda itu beres, transaksi pun siap dilakukan. Merasa puas dengan kinerja pemuda itu, Abdullah memberikan upah lebih, hitung-hitung jadi uang tip sebagai tanda terima kasih.
Mengetahui jumlah upahnya lebih, pemuda itu pun menolaknya. Dia hanya mau menerima upah sesuai dengan nilai yang sudah dibicarakan sebelumnya. Namun Abdullah tetap memaksa agar diterima saja. Keduanya tetap pada pendirian masing-masing, hingga akhirnya pemuda itu merasa risih dan berlalu begitu saja.
Merasa tak enak hati, Abdullah kemudian mengejar pemuda itu. Pada akhirnya dia mau menerima upahnya saja dan tetap menolak pemberian uang tip.
Abdullah Al-Faraj kembali membutuhkan tukang. Ia pun berangkat ke pasar pada hari Sabtu, berharap bisa bertemu dengan pemuda sebelumnya. Saat sampai pasar, pemuda itu ternyata tidak ada di tempat, padahal hari Sabtu biasanya dia mangkal di sana. Merasa penasaran, Abdullah bertanya pada salah seorang pekerja.
"Kabarnya dia sedang sakit keras," jawab pekerja yang ada di pasar sambil menjelaskan bahwa pemuda itu tinggal bersama seorang nenek renta.
Setelah mengetahui alamatnya, Abdullah langsung berangkat untuk menjenguk pemuda itu. Ketika sudah sampai, Abdullah bertemu dengan nenek tua dan menjelaskan bahwa pemuda itu sudah sakit sejak beberapa hari lalu.
Abdullah pun masuk kamarnya. Benar saja, pemuda itu sedang terbaring sakit, di bawah kepalanya ada sebuah batu yang dijadikan sebagai bantal.
"Apakah kamu perlu bantuanku?" ucap Abdullah menawarkan diri.
"Iya, saya punya sebuah amanah, apakah engkau mau menerimanya?" tanya pemuda itu yang kemudian disanggupi Abdullah.
Merasa umurnya sudah tidak akan lama lagi, pemuda itu kemudian meminta kepada Abdullah agar mencuci baju dan kain wol, kemudian dijadikan sebagai kain kafan untuk membungkus tubuhnya jika sudah meninggal.
"Di kantong baju itu ada cincin. Ambillah cincin itu," ungkap pemuda tersebut.
Kelak, kata pemuda itu, tunggulah Khalifah Harun Ar-Rasyid lewat dan berdirilah di tempat yang sekiranya bisa dilihat olehnya. Setelah itu coba ajak bicara dan tunjukkan cincin tersebut.
"Tapi jangan lakukan itu kecuali ketika aku sudah meninggal," pinta pemuda itu.
Pemuda itu akhirnya meninggal dunia. Abdullah Al-Faraj melaksanakan wasiat, yaitu menunggu di sebuah tempat yang biasanya dilewati iring-iringan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Saat yang dinanti pun akhirnya tiba, Harun Ar-Rasyid datang melintas bersama sejumlah pengawal.
"Wahai Amirul Mu'minin, ada amanah yang harus kusampaikan padamu," teriak Abdullah sambil menunjukkan cincin pemuda tadi.
Teriakan dan cincin itu berhasil menarik perhatian Harun Ar-Rasyid dan membawa Abdullah Al-Faraj ke sebuah rumah.
"Siapakah engkau? Dari mana engkau dapatkan cincin ini?" tanya Harun Ar-Rasyid sambil memegang cincin tersebut.
Abdullah Al-Faraj kemudian mengenalkan diri dan menceritakan semua yang terjadi tentang pemuda itu. Harun Ar-Rasyid kemudian menangis. Merasa penasaran, Abdullah pun bertanya tentang sosok pemuda yang memberinya cincin.
"Dia adalah anakku. Dia dilahirkan sebelum saya diuji dengan jabatan khalifah. Dia diasuh dengan pengasuhan yang baik, belajar Al-Qur'an dan ilmu agama. Saat saya diangkat jadi khalifah, dia meninggalkanku dan tidak mau mengambil sedikit pun dari duniaku," beber Harun Ar-Rasyid.
Abdullah Al-Faraj yang masih penasaran dengan ceritanya terus mendengarkan dengan seksama.
"Saya kemudian memberikannya cincin ini lewat ibunya. Cincin ini berbahan Yaqut dan cukup mahal. Jika dalam kondisi darurat, dia bisa menjual cincin ini. Setelah ibunya wafat, saya tidak lagi mendengar kabarnya kecuali dari engkau," ucap Harun melanjutkan ceritanya.
"Nanti malam tolong antarkan saya ke makamnya untuk berziarah," pinta Harun Ar-Rasyid kepada Abdullah Al-Faraj.
Saat malam tiba, Harun Ar-Rasyid kemudian berangkat ke makam anaknya dengan Abdullah Al-Faraj tanpa ditemani pengawal. Di makam, Abdullah melihat Harun Ar-Rasyid menangis.
Hikmah Kisah
Dari kisah ini dapat diambil beberapa hikmah, di antaranya adalah mengajarkan kepada seorang anak, terlebih lagi anak seorang tokoh atau pejabat untuk hidup mandiri tanpa dibayangi oleh kekuatan seorang ayah. Hal ini sebagaimana dawuh Sayyidina Ali: “Pemuda itu ialah yang berani berkata inilah aku, dan bukanlah pemuda itu yang berkata inilah ayahku”. Kisah ini juga mengajarkan kepada seorang ayah untuk tidak memanjakan anak.
Selain itu, pemuda ini juga mengajarkan tentang pentingnya bekerja secara profesional dan menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan dari klien atau atasan.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU