Sebelum menjelaskan tentang judul di atas, saya akan menguraikan sedikit tentang seluk beluk ilmu perpolitikan. Politik atau siyasah pada awalnya adalah salah satu strategi untuk memenangi sebuah peperangan, baik dengan cara perang fisik maupun diplomasi.
Dalam sejarah Islam, aksi politik pernah dilakukan Nabi bersama para sahabat dalam menjalankan peperangan melawan kafir Quraisy. Ada yang dilakukan dengan taktik peperangan, ada juga dengan diplomasi berupa perundingan atau kesepakatan bersama.
Akan tetapi, seringkali kaum kafir Quraisy melanggar perundingan yang sudah disepakati bersama, sehingga pada akhirnya Rasulullah jarang menerapkan politik diplomasi dengan kafir Quraisy. Rasulullah bersama para sahabat lebih banyak menggunakan politik dalam peperangan berupa siasat atau strategi perang seperti pada perang parit atau perang khandaq.
Pada masa Rasulullah hingga masa Khalifah Utsman jarang terjadi politik diplomasi, bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar lebih banyak menerapkan perluasan wilayah atau peperangan. Karena kebanyakan kerajaan yang ada di jazirah Arab tidak mau tunduk pada pemerintahan Islam dan akhirnya ditaklukan dengan perang terlebih dahulu. Sehingga seolah-olah politik diplomasi dikesampingkan.
Politik Diplomasi Pada Masa Khalifah Ali
Pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, banyak terjadi pemberontakan oleh gerakan-gerakan umat Islam yang menentang pemerintahan.
Gerakan-gerakan ini mulai muncul pada masa Khalifah Utsman. Mereka tidak puas dengan kinerja pemerintahan Sayyidina Utsman. Mereka mengklaim bahwa pemerintahan Sayyidina Utsman telah gagal total dalam mengatur Negara. Mereka juga menuduh Sayyidina Utsman telah berbuat nepotisme, yaitu mengutamakan kerabatnya dalam pemilihan para pejabat. Sehingga mereka mengadakan demo besar-besaran sampai mengepung kediaman Sayyidina Utsman hingga berhari-hari. Pada akhirnya, karena nafsu politiknya, mereka pun membunuh Sayyidina Utsman yang sedang membaca Al-Qur’an. Parahnya lagi, mereka membiarkan jenazah Sayyidina Utsman tergeletak begitu saja tanpa dirawat dan dimuliakan.
Setelah Sayyidina Utsman wafat, diangkatlah Sayyidina Ali sebagai Khalifah. Di masa-masa awal pemerintahan Khalifah Ali, keluarga Sayyidina Utsman beserta para pendukungnya menuntut Khalifah Ali agar menuntaskan kasus pembunuhan Sayyidina Utsman. Namun, Khalifah Ali merasa kesulitan menemukan dalang dan pelaku pembunuhan Sayyidina Utsman yang sebenarnya. Sehingga keluarga dan pendukung Sayyidina Utsman menuduh Khalifah Ali tidak serius menangani kasus tersebut.
Selanjutnya, mulai muncul juga desakan-desakan agar Khalifah Ali dilengserkan. Setelah kondisi Negara semakin ricuh hingga terjadi perang fisik antara Khalifah Ali beserta bala tentaranya dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang didukung oleh Sayyidah Aisyah, Abdurrahman bin Auf dan sahabat-sahabat lain. Perang itu dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Pada perang tersebut dimenangkan oleh Khalifah Ali. Namun sebelum perang usai, Muawiyah mengangkat sebuah mushaf Al-Qur’an dengan tombaknya sebagai isyarat damai atau menyerah.
Karena penghormatan Khalifah Ali pada mushaf Al-Qur’an dan berbaik sangka terhadap apa yang dilakukan Muawiyah beserta pasukannya, akhirnya Khalifah Ali pun menerima isyarat damai tersebut. Dan disepakatilah perundingan antara kubu Ali dan Muawiyah. Pada perundingan itu kubu Ali yang diwakili Abu Ayyub Al-Anshari, sahabat senior yang terkenal santun dan bijaksana. Sedangkan kubu Muawiyah diwakili Amr bin Ash, gubernur Mesir yang dipecat oleh Khalifah Ali.
Pada perundingan tersebut, Khalifah Ali memberikan pernyataan yang dibacakan oleh Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Khalifah Ali menyerahkan kembali sepenuhnya peralihan kekuasaan kepada umat Islam. Setelah kubu Ali memberikan pernyataan resmi tersebut di depan ribuan umat Islam, di luar dugaan kubu Muawiyah memberi pernyataan sebaliknya. Kubu Muawiyah yang diwakili Amr bin Ash menyatakan bahwa mulai saat ini pemerintahan dipegang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.
Setelah kubu Muawiyah menang dalam siasat menggunakan mushaf Al-Qur’an dalam perang fisik, mereka pun menang dalam perang diplomasi. Akan tetapi, bukan berarti Khalifah Ali beserta para pendukungnya kalah dalam kecerdikan dan kelihaian dalam berperang maupun berdiplomasi. Akan tetapi Khalifah Ali lebih mementingkan kemaslahatan dan kedamaian di antara umat Islam. Khalifah Ali tidak menginginkan kekacauan Negara terjadi berlarut-larut akibat merebaknya nafsu kekuasaan. Sehingga Khalifah Ali beserta para pendukungnya lebih memilih mengalah dan bijak dalam menghadapi situasi politik Negara yang sedang kacau. Walaupun pada akhirnya Khalifah Ali ditinggal oleh sebagian pendukungnya karena sikap bijak dan mengalahnya kepada kubu Muawiyah bin Abu Sufyan.
Wallahu A’lam
Al-Faqier Ila Rahmati Rabbih
Saifur Ashaqi
Kaliwungu Kota Santri