KH. Muhammad Arwani Amin, sosok ulama kharismatik yang lahir di Kudus, Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H. bertepatan dengan 5 September 1905 M. Selain masyhur sebagai seorang ulama yang sangat mencintai Al-Qur’an, Pendiri Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an tersebut juga dikenal memiliki akhlak dan etika yang sangat patut untuk dijadikan teladan. Diantara akhlak dan etika yang patut diteladani adalah sebagai berikut:
Memuliakan Tamu
Dalam keseharian KH. Muhammad Arwani Amin, atau masyarakat sekitar biasa memanggil dengan sebutan Mbah Arwani, sangat memuliakan tetangga, para tamu, bahkan seorang pedagang yang menawarkan barang dagangan ke rumahnya. Semua kalangan dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat, pengusaha, hingga masyarakat biasa mendapat penghormatan yang sama. Mbah Arwani memuliakan mereka tanpa memandang status sosialnya.
Pernah suatu ketika ada pedagang sarung yang datang ke rumah beliau dan menawarkan sebuah sarung biasa (murah) tetapi pedagang tersebut mematok harga yang sangat tinggi. Khadim (pelayan) beliau, yaitu KH. Muhammad Manshur Maskan yang mengetahui hal tersebut lantas matur (bilang) kepada Mbah Arwani, “Sebenarnya harga sarung itu murah, Mbah Yai. Njenengan sudah ditipu oleh pedagang itu.” Lantas Mbah Arwani menjawab, “Biarkan saja, harusnya kita tetap bersyukur. Syukurlah bukan kita yang dijadikan Allah sebagai penipu.”
Mbah Arwani juga sering melakukan hal-hal yang semestinya “tidak perlu” beliau lakukan. Dikisahkan dari pengalaman seorang yang pernah bertamu di rumah Mbah Arwani. Setiap lebaran saya sowan (silaturrahim) ke rumah Mbah Yai. Tamu-tamu yang datang tentu bukan hanya saya, banyak sekali. Ketika rombongan kami masuk ke ruang tamu, langsung disambut beliau dengan keramahan. Setelah kami duduk, beliau mohon pamit sebentar, lalu menuju pintu dari mana tadi kami masuk. "Apa yang dilakukan beliau?" batin saya. Saya terkejut ternyata beliau menata dan merapikan sandal-sandal kami.
Memuliakan Guru
Suatu hari, KH. Ma’ruf Irsyad bersama Ibu Nyai Hj. Munijah sowan ke rumah KH.M. Arwani Amin (Mbah Arwani). Di rumah Mbah Arwani, Kiai Ma’ruf dan Nyai Hj. Munijah dipersilakan duduk di tempat yang telah disiapkan sebelumnya. Kiai Ma’ruf kaget, karena Mbah Arwani justru duduk lebih rendah dari tempat yang disediakan itu.
Melihat pemandangan tidak wajar itu, Kiai Ma’ruf bertanya, “Mbah Yai, njenengan (Anda) kok duduk di bawah.”
Mbah Arwani menjawab tegas, “Yang datang ke rumah saya ini, istrinya teman guru saya.”
Tentu Kiai Ma’ruf tak bisa berbuat apa-apa lagi mendapatkan perlakukan istimewa dari sang guru, KH. Arwani Amin, yang selain alim-allamah, juga pernah disebut oleh Mbah Hamid Pasuruan sebagai sosok waliyullah Kudus yang sangat dikenal akhlak mulianya.
Tidak hanya di ruang tamu, ketika pulang pun, Kiai Ma’ruf tambah dibuat heran dan kagum. Jalan menuju pulang penuh dengan kerikil batu yang mengganggu. Tanpa diduga, Mbah Arwani menyingkirkan kerikil tersebut dengan tangannya sendiri, tidak memerintah kang santri agar perjalanan pulang istri teman gurunya lancar.
“Mbah Yai, ampun, sudah-sudah, tidak usah Mbah Yai,” kata Kiai Ma’ruf.
“Sudah, diam saja,” sahut Mbah Arwani dengan tetap menyingkirkan kerikil yang sebetulnya tidak perlu.
Cerita di atas dituturkan sendiri oleh KH. Ma’ruf Irsyad di sela-sela mulang ngaji santri di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin (PPRM), Jagalan Kudus.
Apa yang dilakukan oleh Mbah Arwani tersebut bukan sesuatu yang berlebihan dan sia-sia. Itu adalah teladan berharga atas akhlak mulia dan hormatnya seorang alim kepada istri teman gurunya. Bayangkan, bukan gurunya, tapi istri teman dari gurunya.
Nyai Hj. Munijah, ibu Kiai Ma’ruf Irsyad, adalah istri KH. Irsyad yang berteman akrab dengan guru KH. Arwani Amin yang bernama Mbah Manshur, Popongan, Klaten. Kepada Mbah Manshur yang asli Mranggen inilah Kiai Arwani belajar thariqah
Kelembutan Hati
Dalam pengajian Tafsir Jalalain belum lama ini, Pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, KH. Muhammad Shofi Al-Mubarok (Gus Shofi) menceritakan salah satu kisah kehidupan KH.M. Arwani Amin Kudus.
Ia menerangkan, seusai menghadiri pembukaan thariqah yang baru saja didirikan oleh KH.M. Arwani Amin, KH. Manshur Maskan, murid kesayangan Kiai Arwani melihat tulisan yang mengusik hatinya.
"Arwani Edan". Ya, begitulah tulisan yang melekat di dinding pinggiran jalan.
Melihat tulisan yang masih basah itu, Kiai Mansur Maskan lantas bergegas matur kepada Kiai Arwani untuk meminta izin menghapus tulisan yang tidak bertanggung jawab tersebut. Namun, apa yang justru dikatakan Kiai Arwani?
"Ojo dibusak disik, ben aku weruh disik. ben wong sing nulis iku puas. Onone wong kui nulis, mergo nduwe tujuan ben tak woco. wes jarke disik. ngko nak aku wes weruh, hapusen."
(Jangan dihapus dulu, agar orang yang menulis puas. Adanya orang itu nulis karena memiliki tujuan agar saya membaca. Sudah biarkan saja dulu. Nanti kalau saya sudah melihat, hapuslah).
Menyenangkan Orang Lain
Menurut KH. Sya’roni Ahmadi (Mustasyar PBNU) yang juga merupakan salah satu santri Mbah Arwani berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga hal yang sangat menonjol pada diri KH. Muhammad Arwani Amin.
Pertama, kedalaman ilmu pengetahuan agama (Islam), terutama pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Kedua, ketawadhu’annya. Sebagai seorang ulama besar yang sudah dikenal masyarakat luas, Mbah Arwani tetap rendah hati dan selalu hormat kepada setiap orang dengan tanpa melihat apakah ia orang terpandang atau hanya orang biasa. Ketika KH. Raden Asnawi masih hidup, beliau pernah menganjurkan kepada KH. Muhammad Arwani Amin agar mendirikan pondok, tapi beliau menolak dengan alasan di Kudus sudah banyak pondok. Beliau hanya akan urun mengajar saja. Hal ini sebenarnya menunjukkan ketawadhu’an dan kehalusan perasaannya.
Ketiga, salah satu prinsip hidup beliau adalah “Idkhalus Surur” artinya, beliau selalu berusaha untuk menyenangkan dan menggembirakan orang. Itulah sebabnya, dalam pergaulannya, beliau senantiasa berperilaku yang membuat orang senang karenanya. Sebaliknya, beliau paling tidak suka merepotkan orang lain.
Di samping kealiman Mbah Arwani sebagai seorang ulama, beliau senantiasa menjunjung tinggi sikap rendah hati dan memuliakan orang lain. Akhlak dan etika beliau yang telah dipaparkan di atas, sudah semestinya kita jadikan teladan dalam berperilaku dan bermasyarakat.
KH.M. Arwani Amin (Mbah Arwani) wafat pada tanggal 25 Rabi’ul Akhir tahun 1415 H. bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1994 M. dalam usia 92 tahun.
Semoga kita semua bisa meniru dan meneladani akhlak mulia beliau serta diakui sebagai santri beliau di dunia dan akhirat. Amiiin…
Lahul Fatihah…
Al-Faqir Ila Rahmati Rabbih
Saifur Ashaqi (Alumni PTYQ Pusat)
Referensi:
Situs PBNU (nu.online.com)
Santri Menara (santrimenara.com)