Sebagian ulama, di antaranya Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah swt. dapat dilihat dengan kekuatan rohani atau maknawi yang dianugerahkan Allah swt. kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Melihat Allah swt. semacam ini tidak mensyaratkan obyek yang dilihat selalu berada di hadapannya. Demikian pula, tidak dipersyaratkan menentukan tempat atau arah yang memungkinkan Allah swt. dapat dilihat, mengingat Allah swt. berada di segala tempat. Keadaan melihat Allah ini bersifat spiritual (ruhiyah). Oleh karena itu, kedua mata (fisik) sama sekali tidak berperan. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang buta dan orang yang dapat melihat.
Sebagian filsuf sufi mengembangkan pandangan semacam itu yang menyebutkan berbagai kejadian tersebut sebagai “perhubungan dengan Yang Mahatinggi”. Manusia akan dapat mencapai tingkatan tinggi ini setelah berhasil membersihkan dirinya dari tuntutan material dalam kehidupan dunia.
Sebagian pemikir itu mengutip sejumlah hadits Nabi saw. untuk menguatkan pandangan mereka. Di antaranya adalah hadits qudsi berikut : “Aku menurut persangkaan hamba-Ku. Jika menyangka baik, maka akan berakibat baik, dan jika menyangka buruk, maka akan berakibat buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka juga menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah membacakan hadits qudsi yang berbunyi : “Langit dan bumi tidaklah leluasa bagi-Ku, akan tetapi hati hamba-Ku yang beriman lagi suci leluasa bagi-Ku.”
Allah swt. akan membangkitkan manusia di hari kiamat kelak sesuai bentuk tubuh masing-masing ketika di dunia. oleh karena itu, orang yang benar-benar beriman dan hatinya selalu mengingat Allah swt. semasa di dunia akan tentram dan bahagia di akhirat kelak dengan melihat wajah Allah swt. Melihat tidak hanya melihat wajah Allah swt. dengan hatinya, melainkan juga dengan mata kepalanya. Melihat Allah swt. dengan mata kepala sendiri di akhirat kelak selaras dengan sabda Nabi saw.
Mayoritas ulama sepakat bahwa melihat Allah swt. adalah sebuah keniscayaan di akhirat nanti. Kaum mukmin yang shalih melihat Allah swt. di akhirat, sedangkan orang-orang kafir tidak akan dapat melihat-Nya. Syaikh Nawawi berkata, “Sebagian sekte, misalnya; Khawarij (Wahabi), Mu’tazilah dan Murji’ah menduga bahwa Allah swt. tidak dapat dilihat oleh siapa pun di akhirat. Melihat Allah, menurut dugaan mereka adalah mustahil”. Anggapan mereka ini menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan sejumlah sahabat terpercaya.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Dua surga terbuat dari perak; bejana-bejananya dan segala yang terdapat di dalamnya. Dua surga terbuat dari emas; bejana-bejananya dan segala yang terdapat di dalamnya. Di surga ‘And, penghuni surga dapat melihat wajah Tuhan, karena selendang (tabir) keaguangan-Nya tersingkap dari wajah-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menggambarkan hilangnya tabir yang menghalangi seseorang untuk melihat Allah swt. dengan tersingkapnya selendang keagungan-Nya. Memang, seperti biasanya, beliau selalu menggunakan kiasan-kiasan dalam menuturkan sabdanya agar lebih mudah dipahami.
Imam Bukhari menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa serombongan kaum muslim menjumpai Rasulullah saw. Lalu mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pada hari kiamat kelak kami melihat Tuhan?”. Beliau balik bertanya,”Sulitlah kalian melihat bulan di malam purnama?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Sulitkah kalian melihat matahari yang tidak tertutup awan?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Beliau melanjutkan, “Demikian pula kalian akan melihat-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika Allah menampakkan Zat-Nya kepada kaum mukmin di akhirat, mereka langsung mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan yang mereka sembah, cintai, dan agungkan. Mereka mengenal Tuhan, meskipun belum pernah melihat-Nya. Karena, mereka mengenal Tuhannya dengan hati yang telah dibekali penglihatan yang benar. Ketika menatap Tuhannya, orang beriman pasti merasakan kebahagiaan sejati yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Kebahagiaan dan kegembiraan itu jauh lebih berarti daripada masuk surga serta segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Imam Muslim menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Ketika para penghuni surga memasuki surga, Allah swt. bertanya kepada mereka, ‘Apakah kalian mengharapkan sesuatu yang perlu Aku tambahkan?’. Mereka berkata, ‘Bukankah Engkau memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau memasukkan kami ke surga dan membebaskan kami dari neraka?’. Maka Allah swt. menguak hijab-Nya. Sungguh, tidak ada suatu pemberian pun yang lebih mereka senangi daripada memandang Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung.”
Wallahu A’lam
Sumber : Ensiklopedia Al-Qur’an
ADS HERE !!!