Hari ini, Rabu 7 Agustus 2019, adalah satu hari kepulangan Mbah Moen (KH. Maimoen Zubair) ke rahmatullah. Duka mendalam masih dirasakan oleh rakyat Indonesia pada umumnya dan warga nahdliyin pada khususnya terutama keluarga, santri dan pengikut setia beliau.
Kemarin, Selasa 6 Agustus 2019, saat Mbah Moen wafat tidak sedikit jamaah haji dari Indonesia yang memberitahukan bahwa seolah-olah alam pun ikut mengiringi kepergian ulama kharismatik yang dimiliki bangsa Indonesia ini. Cuaca di kota suci Mekkah yang biasanya terang dan panas, pada hari itu berubah menjadi mendung disertai hujan rintik-rintik. Bahkan tidak sedikit jamaah haji Indonesia dan Negara lain pun ikut larut dalam menyalati, mengantar, dan menyaksikan pemakaman beliau.
Kini, beliau telah damai dan sangat bahagia menyusul pendahulu-pendahulunya, guru-gurunya, dan orang yang paling dicintainya, yaitu Rasulullah saw. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la, Mekkah. Di pemakaman itu, banyak jasad orang-orang shalih/shalihah dimakamkan, diantaranya; Sayyidah Khadijah (istri Nabi), Syaikh Nawawi al-Bantani, Sayyid Alwi al-Maliki, Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, dan masih banyak lagi ulama-ulama tersohor lainnya.
Dalam beberapa catatan disebutkan, bahwa beliau lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 atau bertepatan dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah salah satu gerakan para pemuda yang menginginkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemuda tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan berasal dari agama, ras, suku serta bahasa yang berbeda-beda. Keinginan mereka hanya satu, yaitu terbebas dari penjajahan dan merebut kemerdekaan. Spirit para pemuda tersebut tak lepas dari rasa memiliki bersama tanah air tercinta, Indonesia. Mereka bersatu padu dengan tidak melihat perbedaan masing-masing tetapi mengutamakan persatuan dan kesatuan untuk masa depan bangsa mereka.
Maka, tidaklah mengherankan jika spirit perjuangan mengalir deras dalam tubuh beliau sebagaimana spirit para pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam ceramah-ceramahnya, beliau juga sering mendengungkan arti pentingnya NKRI dan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia. Beliau selalu berpesan jangan kedepankan perbedaan tetapi utamakan persatuan dan kesatuan.
Selain dikenal sebagai ulama yang ‘alim, kharismatik, dan dicintai umat, beliau juga seorang sosok ulama yang istiqomah dalam menjalankan rutinitasnya serta teguh dalam pendiriannya. Inilah beberapa keistiqomahan dan keteguhan beliau yang saya ketahui:
Istiqomah Dalam Mengajar Para Santri
Beliau adalah Pendiri sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Sudah tidak disangsikan lagi, beliau adalah sosok ulama yang sangat menyayangi santri-santrinya. Bahkan tidak hanya ilmu yang diberikan beliau kepada santri-santrinya tetapi juga uang atau barang yang dimiliki beliau terkadang diberikan kepada santrinya secara cuma-cuma alias gratis. Dalam rutinitas mengajar para santri, beliau sangat jarang meliburkan diri, terutama pada bulan Ramadhan beliau selalu istiqomah mengajar para santri, baik santri-santri Sarang maupun santri-santri pendatang (posonan).
Keistiqomahan beliau dalam mendidik dan membimbing para santri adalah cerminan bahwa beliau adalah ulama yang benar-benar istiqomah dalam mensyiarkan ilmu dan nilai-nilai ajaran Islam. Sampai akhir hayatnya, beliau benar-benar seorang ulama pendidik sejati. Dengan ilmunya, beliau mengajar para santri. Dengan hartanya, beliau mengajarkan kedermawanan. Dan dengan sikapnya, beliau mengajar akhlak yang mulia.
Kecintaan beliau pada ilmu tidak diragukan lagi, selama puluhan tahun beliau menuntut ilmu di berbagai daerah di Indonesia hingga Negara Timur Tengah. Usai berkelana mencari ilmu, beliau pun mengajar di sebuah Mushola, dan mulai berdatanglah para santri hingga didirikanlah kamar-kamar di dekat Mushola tersebut.
Pada akhirnya, kealiman dan kharisma beliau pun muncul dengan sendirinya. Beliau juga mengarang beberapa kitab yang diajarkan di Pesantren Sarang. Maka, tidaklah mengherankan jika putra-putri beliau seluruhnya menjadi ulama dan pendidik para santri. Bahkan sampai cucunya pun menjadi ulama dan pendidik para santri. Dan juga tidak sedikit santri-santri beliau yang menjadi tokoh masyarakat dan ulama di daerahnya masing-masing.
Istiqomah Dalam Mengatur Keuangan Keluarga
Mbah Moen adalah ulama yang komplet. Beliau pandai mengajar para santri, pandai menulis kitab, dan pandai berceramah. Sejak muda, beliau intens dalam menekuni apapun pekerjaannya selagi itu halal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Selain dikenal sebagai pendakwah dari satu daerah ke daerah lain, sebagai anggota dewan, anggota MPR dan sebagai politisi, beliau juga dikenal sebagai ulama yang rajin bekerja. Beliau pernah menjadi kepala pasar, kepala koperasi, petani tambak, bahkan pekerja kasar pun pernah dijalani.
Dari pemasukan-pemasukan keluarga yang diterima dari berbagai macam pekerjaan tersebut, beliau tidak pernah sekalipun mencampur-adukan menjadi satu. Beliau memisah-misahkan antara laci untuk menaruh uang hasil ceramah (bisyaroh), laci untuk hasil politik, laci untuk gaji anggota dewan, laci untuk hasil pertanian, dan laci-laci untuk lainnya. Bahkan sangat jarang beliau mengambil gaji sebagai anggota dewan maupun anggota MPR. Jika pun diambil, itu benar-benar untuk kemaslahatan umat bukan untuk konsumsi pribadi ataupun keluarganya.
Kehati-hatian beliau dalam mengelola keuangan keluarga menjadikan keluarga beliau menjadi keluarga yang memiliki nilai-nilai agama yang kuat. Putra-putri hingga cucu-cucu beliau menjadi orang-orang yang shalih/shalihah. Mereka semua menjadi ulama pendidik dan penerang umat. Bahkan ratusan santrinya menjadi ulama atau tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing.
Istiqomah Dalam Sikap Politik
Pada masa mudanya, Mbah Moen dikenal sebagai pendakwah yang ulung. Ceramah-ceramahnya sangat disukai dan ditunggu-tunggu kaum muslimin. Hingga akhirnya, saat Nahdlatul Ulama (NU) menjadi partai politik, beliau pun masuk dalam jajaran pengurus. Dengan potensinya sebagai pendakwah, beliau menyuarakan visi-misi NU sebagai partai yang harus didukung.
Pada saat Orde Baru berkuasa, partai-partai yang berjumlah puluhan dilebur menjadi 3 partai, yaitu; PPP, Golkar, dan PDI. Partai-partai Islam termasuk NU dan Masyumi melebur ke PPP, sedangkan partai-partai nasionalis ada yang masuk Golkar dan ada yang masuk PDI.
Diantara tokoh-tokoh NU yang masuk PPP terdapat nama-nama ulama besar, seperti; KH. Idham Cholid, KH. Cholil Bisri, KH. Dimyati Rois, KH. Maimoen Zubair dan lain-lain. Mereka mengawal suara-suara warga NU yang memilih PPP dengan cara memberi kemaslahatan dan kesejahteraan kaum nahdliyin.
Pada saat digulingkannya Presiden Soeharto disertai muncullah era Reformasi, banyak tokoh-tokoh politik mendirikan partai sebagai kendaraan politiknya. Tak terkecuali, tokoh-tokoh politik yang berasal dari NU, mereka bersama-sama dengan ulama NU yang bukan politisi berencana mendirikan partai. Dan disepakatilah PKB sebagai partai politik warga NU. Namun, sebelum PKB didirikan, beberapa ulama NU yang juga politisi PPP termasuk Gus Dur berusaha mengajak KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) untuk masuk menjadi deklarator dan pengurus PKB. Akan tetapi, beliau menolak dengan halus ajakan sahabat-sahabatnya tersebut. Beliau beralasan ingin istiqomah membesarkan PPP sebagai salah satu kendaraan politiknya warga NU selain PKB dan partai lainnya. Beliau juga pernah berkata, “Kalau semua kiai NU di PKB, nanti yang di PPP siapa?”. Begitu alasan beliau tetap di PPP.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, perbedaan sikap politik maupun kendaraan politik antara ulama yang satu dengan lainnya adalah hal yang sangat wajar. Mereka punya alasan dan cara masing-masing dalam berjuang demi kemaslahatan umat. Toh, perbedaan-perbedaan itu memberikan warna indah dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.
Sikap teguh dan istiqomah beliau dalam berpolitik menjadi teladan bagi kita, bahwa perjuangan jangan hanya di satu tempat saja, banyak tempat untuk berjuang demi kemaslahatan umat.
Selamat Jalan Mbah Moen…
Lahu al-Fatihah…
Wallahu A’lam
Al-Faqier ila Rahmati Rabbih
Saifur Ashaqi
Kaliwungu Kota Santri