Kesaksian KH. Ruhan Sanusi
Kiai Ruhan mondok di Tebuireng sekitar tahun 1948. Sebagai santri, Kiai Ruhan juga sekolah di Madrasah Ibtida’iyah Salafiyah sampai kelas 6, lalu pada masa KH. Wahid Hasyim ditambah menjadi sampai kelas 8. Menurutnya, Mbah Hasyim istiqomah menjadi imam shalat jamaah lima waktu. Sebelum Subuh, biasanya Mbah Hasyim sudah membangunkan santri-santrinya dengan berkeliling ke kamar-kamar santri.
Seusai shalat Subuh, santri-santri mengaji dan untuk santri-santri senior ngaji di ndalem-ndalem para ustadz. Sehabis mengajar ngaji, Mbah Hasyim pergi ke sawah.
Kalau ada tamu dari Jakarta atau dari Jombang sendiri, para santri dikumpulkan lalu diberi penjelasan-penjelasan dan Mbah Hasyim memimpin doa.
Kesaksian KH. Mashudi
Mbah Hasyim saat mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, beliau melakukan shalat sunnah 2 rakaat. Ini terjadi ketika ada bahtsul masa’il di sebuah gedung, karena masalahnya sulit diselesaikan kemudian beliau menuju Mushola yang ada di dekat tempat bahtsul masa’il tadi. Di tempat imam Mushola itu ada sebuah ruangan, dan beliau shalat sunnah 2 rakaat. Setelah beliau keluar dari ruangan, masalah yang sedang dibahas dalam bahtsul masa’il itu akhirnya bisa terpecahkan.
Mbah Hasyim adalah ahli hadits, di mana pun berada beliau selalu menukil hadits Nabi bahkan sampai menjiwai dalam diri beliau.
Dalam mengisi pengajian, Mbah Hasyim biasa keliling ke luar negeri dan Negara yang paling dekat dikunjungi adalah Brunei Darussalam. Beliau pernah ke Pakistan, Washington, dan New York. Pada zaman itu, santri-santri jarang ada yang pernah naik pesawat, tapi saya sudah pernah naik pesawat sebab mengikuti beliau.
Pada waktu itu, penguasa negeri ini adalah Van Deer Plass. Bahkan saat Kongres NU, Van Deer Plass pernah hadir. Saat para kiai tidak bisa menyelesaikan bahtsul masa’il, Mbah Hasyim bisa menyelesaikannya.
Mbah Hasyim ikut berperang bersama kiai-kiai NU lainnya saat terjadi perang besar di Surabaya. Saat tubuh Mbah Hasyim terkena mortir (bom), tubuh Mbah Hasyim tidak terluka sedikit pun.
Saya pernah diajari kitab Hidayatusshalihin, disitu disebutkan, “Kita wajib percaya akan keistimewaan (karomah) para wali saat masih hidup sampai wafatnya. Barangsiapa yang benci terhadap karomahnya para wali, maka ia kufur. Kekufurannya itu seperti halnya menginjak-injak mushaf Al-Qur’an.”
Kesaksian KH. Afandi
Mbah Hasyim mengajar ngaji setiap ba’da Subuh. Pada hari Jum’at, seusai shalat Jum’at mengajar kitab tafsir, ba’da Ashar mengajar kitab Taqrib. Menurutnya, foto-foto Mbah Hasyim yang beredar luas di masyarakat banyak yang tidak cocok. Dan ini adalah foto asli Mbah Hasyim yang benar:
Pada bulan Ramadhan, Mbah Hasyim biasa mengajar kitab hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Banyak bapak-bapak dan kiai-kiai yang ikut ngaji, bahkan dari daerah Kebumen dan Jawa Barat.
Pada waktu itu, amalan santri-santri Tebuireng ialah membaca shalawat sebanyak 31-35 kali seusai shalat Subuh.
Menurutnya, pengalaman paling mencekam saat mondok di Tebuireng ialah ketika pasukan Belanda mengepung pondok Tebuireng, jika ada santri yang keluar pondok akan ditembak, jika dibiarkan maka pasukan Belanda akan masuk menyerang. Saat itulah, Mbah Hasyim mengumpulkan santri-santrinya di masjid dan diperintahkan untuk membaca surah Yasin. Dengan izin Allah, akhirnya pasukan Belanda bubar meninggalkan pondok Tebuireng dengan sendirinya.
Pada masa penjajahan Jepang, tentara Jepang mengepung pondok Tebuireng lalu menangkap Mbah Hasyim. Saat penangkapan, lurah pondok pada waktu itu yang bernama Sholihin dari Cirebon mengejar mobil yang ditumpangi Mbah Hasyim.
Kesaksian KH. Abdurrahman Bajuri
Kiai Abdurrahman mondok di Tebuireng selama 7 tahun, yaitu sejak 1938 sampai wafatnya Mbah Hasyim. Kiai Abdurrahman mondok saat berusia 17 tahun. Menurutnya, banyak tamu yang datang ke rumah Mbah Hasyim, diantaranya; Bung Karno (Ir. Soekarno), Bung Hatta (M. Hatta), Bung Tomo, dan pemimpin-pemimpin revolusi lainnya. Bahkan yang sering datang ke rumah Mbah Hasyim adalah para pemimpin Belanda.
Anehnya, walaupun Mbah Hasyim sangat anti terhadap penjajahan tapi tidak frontal dalam penentangannya. Terkadang ada komandan tentara Belanda yang marah-marah dan ngamuk di pondok Tebuireng, bahkan sampai merusak bangunan pondok dan membakar kitab-kitab pondok. Akan tetapi, Mbah Hasyim tenang-tenang saja, bangunan yang dirusak diperbaiki lagi dan kitab yang bakar lalu beli lagi. Itulah kesabaran Mbah Hasyim dalam menghadapi penjajahan.
Foto-foto yang beredar tentang gambar Mbah Hasyim adalah salah, yang benar adalah ini:
Kitab yang diajarkan Mbah Hasyim ialah setiap ba’da Ashar kitab Fathul Qarib, ada juga kitab Tafsir Jalalain, ada juga kitab Arba’in Nawawi, dan juga kitab Al-Hikam. Setiap khatam, diulangi lagi sampai seterusnya. Sedangkan yang diajarkan kepada santri-santri senior dan kiai-kiai adalah kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Mbah Hasyim adalah sosok kiai yang sabar dan tidak pernah marah. Kalau beliau berbicara dengan para santri sembari tersenyum. Kalau mengumpulkan para santri dengan bel/lonceng. Beliau tidak pernah memarahi santrinya walaupun terkadang ada santri yang nakal.
Pesan Mbah Hasyim kepada para pemuda atau santri, “Pemuda jangan tergantung pada orang lain. Jika ingin mulia dan bahagia harus dengan keringatnya sendiri.”
Tentara Jepang menjajah Indonesia dengan halus, para tokoh nasional Indonesia berusaha mempengaruhi Jepang untuk memerdekakan Indonesia. Jepang bahkan berjanji akan memerdekakan Indonesia. Setelah mendengar kabar tersebut, para pemuda geger lalu sowan ke rumah Mbah Hasyim. Dilapori oleh para pemuda tentang kabar tersebut, Mbah Hasyim hanya tersenyum seraya berkata, “Dulu saat aku muda ya seperti kamu, tidak sabar, mendengar akan diberi kemerdekaan oleh Jepang buru-buru senang, tapi saya nasihati ya, pemuda jangan suka diberi, pemuda cara Nabi tidak suka diberi, ingin mulia harus usaha atau cari sendiri, merdeka ya harus usaha (direbut) sendiri, jadi merdekanya murni 100%”. Akhirnya para pemuda pulang dengan membawa nasihat dari Mbah Hasyim.
Tidak lama kemudian, Jepang kalah perang dan mundur dari wilayah Indonesia. Namun tentara Jepang tidak mau meninggalkan Indonesia. Akhirnya para pemuda yang dimotori oleh Bung Tomo atas mandat dari Mbah Hasyim menyerbu penjajah. Namun sebelum menyerbu penjajah, Mbah Hasyim menunggu anak menantunya, KH. Idris Kamali dan KH. Abbas Buntet. Setelah keduanya datang, penyerbuan pun dimulai.
Mbah Hasyim sering berpesan kepada santri-santrinya terutama saat acara wisuda santri. Pesannya adalah: “Pertama, takutlah kamu kepada Allah. Kedua, berilah petunjuk kepada semua hamba Allah, baik muslim maupun non-muslim, menuju keuntungan (kebahagiaan) dunia dan akhirat”.
Kesaksian KH. Abu Bakar
Beliau mondok di Tebuireng pada tahun 1942. Menurutnya, Mbah Hasyim biasanya mengajar ngaji di rumahnya dengan duduk lesehan seperti pondok-pondok salaf lainnya. Ketika Mbah Hasyim keluar dari rumah dan sedang berjalan kaki, tak ada santri yang berani lewat di depan atau samping beliau karena segan dan ta’dzim kepada beliau.
Rutinitas ibadah Mbah Hasyim, diantaranya; Dari jam 2 malam sampai waktu Dhuha beliau mengajar ngaji sendiri. Seusai mengajar ngaji kira-kira jam 7 pagi beliau ganti baju dengan pakaian biasa berangkat ke sawah dengan naik dokar. Siangnya beliau pulang ke rumah, terkadang motong-motong kayu untuk dijadikan kayu bakar buat memasak, terkadang juga motong-motong saat waktu panen.
Pada waktu itu, Mbah Hasyim memiliki 1000 santri dan diasuh sendiri. Saat tiba waktu imtihan, Mbah Hasyim menyembelih sapi. Para santri diuji hafalan-hafalannya, baik nadhom nahwu, shorof, tajwid, tauhid, atau yang lainnya.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Disarikan dari akun youtube Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Kaliopak