Dalam
beberapa literatur buku sejarah tentang Kaliwungu dijelaskan, bahwa kedatangan
seorang santri yang bernama Bhatara Katong atau Kyai Katong ke Kaliwungu adalah
atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang). Kyai Katong
sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan Arang merupakan
santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong untuk berdakwah
di daerah yang terdapat “Pohon Ungu” dan condong ke sungai. Setelah berjalan ke
arah barat Semarang beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon
itu dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka,
daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Wungu” dan sungai yang
ada di dekat pohon tersebut sekarang dinamakan “Kali Sarean”.
Di
Kaliwungu, Kyai Katong berdakwah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat
selama beberapa tahun. Bahkan Kyai Katong berhasil meng-Islamkan
pembesar-pembesar Kaliwungu. Dengan masuknya pembesar-pembesar Kaliwungu ke
dalam agama Islam, akan memudahkan beliau dalam mensyi’arkan ilmu dan ajaran
Islam yang beliau dapat dari Kyai Pandan Arang. Pada masa itu, Kyai Katong
berhasil mendirikan padepokan (Pesantren) di Kaliwungu. Dengan semaraknya
ajaran Islam di Kaliwungu, menjadikan daerah itu menjadi pusat dari bagian wilayah
kerajaan Islam Demak. Sampai-sampai pada saat kerajaan Islam Demak akan
menyerang Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta), Kaliwungu menjadi salah satu pos
peristirahatan bagi pasukan kerajaan Islam Demak. Setelah berdakwah
bertahun-tahun di Kaliwungu, masyarakat pun akhirnya lebih mengenal Kyai Katong
dengan sebutan Sunan Katong.
Wafatnya
Sunan Katong menjadi kesedihan tersendiri bagi masyarakat Kaliwungu. Karena
ditinggal oleh tokoh panutan sekaligus guru spriritualnya. Tahun berganti
tahun, hampir puluhan tahun masyarakat Kaliwungu vakum akan hadirnya tokoh
penyejuk ruhani dan Kyai pengobat hati. Dengan tidak adanya ulama, lama
kelamaan masyarakat kembali terjerumus ke dalam keyakinan-keyakinan masa lalu
dari mulai ajaran Animisme sampai ajaran Hindu dan Budha. Dan mulailah timbul kembali
kebiasaan-kebiasaan lama, seperti maen (judi), mabok
(mabuk-mabukan), madon (zina), maling (mencuri), mateni
(membunuh) dan lain-lain.
Dengan
semakin rusak dan kacaunya keadaan masyarakat di Kaliwungu. Pada sekitar tahun
1781, Kasultanan Mataram Islam Jogja mengutus KH. Asy’ari untuk membenahi dan
memperbaiki keadaan masyarakat Kaliwungu pada waktu itu. Kyai Asy’ari merupakan
Ulama Dalem Keraton dan masih ada nasab dengan Rasulullah saw. Sultan Mataram
Islam Jogja pada waktu itu melihat, bahwa Kyai Asy’ari mampu membenahi
masyarakat Kaliwungu karena kedalaman ilmunya dan puluhan tahun menuntut ilmu
di kota Mekkah.
Dengan
datangnya Kyai Asy’ari ke Kaliwungu untuk membenahi keadaan masyarakat yang
mulai kembali kepada keyakinan dan kebiasaan masa lalu. Akhirnya, lambat laun
masyarakat mulai sadar kembali dan mendukung dakwah Kyai Asy’ari. Dalam
dakwahnya, Kyai Asy’ari menerapkan dakwah yang halus dan mengena kepada
masyarakat. Kyai Asy’ari sesekali menggunakan budaya Jawa berupa wayang kulit,
terbangan, kentrungan, selametan, nyadran dan lain-lain untuk mendekati
masyarakat agar bisa mengenal lebih dalam ajaran Islam. Kyai Asy’ari sengaja
mengenalkan budaya Jawa yang bernuansa Islam itu dari Jogja ke Kaliwungu,
tujuannya untuk lebih memudahkan proses pengenalan kembali ajaran Islam ke
dalam lingkungan masyarakat Kaliwungu.
Bertahun-tahun
Kyai Asy’ari berdakwah dan menjadi ulama di Kaliwungu. Bahkan Kyai Asy’ari
berhasil mendirikan Masjid dan Pesantren di Kaliwungu. Masjid yang beliau
bangun sekarang masih berdiri megah di tengah-tengah Kota Kaliwungu, yaitu
Masjid Besar Al-Muttaqien. Sedangkan Pesantren yang beliau dirikan berada di
Kp. Pesantren, Krajankulon, Kaliwungu, sekarang bernama Pesantren APIP (Asrama
Pelajar Islam Pesantren).
Dengan
kedalaman ilmu yang dimilikinya, Kyai Asy’ari dengan tekun dan istiqomah
mengajar ilmu-ilmu agama kepada masyarakat dan santri Kaliwungu. Bahkan dengan
didikan dan bimbingan Kyai Asy’ari, banyak diantara santri-santrinya yang
menjadi ulama besar dan dikenal di seluruh Indonesia. Sebut saja, KH. Soleh
Darat dari Semarang yang merupakan guru dari KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU dan
Pahlawan Nasional), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyyah) dan RA. Kartini
(Pahlawan Nasional). Sedang keponakan sekaligus murid Kyai Asy’ari yang bernama
KH. Ahmad Rifa’i, menjadi pendiri jama’ah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional.
Adapun santri-santri Kyai Asy’ari yang lain yang juga menjadi ulama besar adalah
KH. Musa (Kaliwungu), KH. Bulkin (Mangkang), KH. Anwaruddin (Cirebon) dan
lain-lain. Maka tidak heran bila di kemudian hari masyarakat dan santri
Kaliwungu lebih mengenal Kyai Asy’ari dengan sebutan Kyai Guru.
Disamping
itu, menurut beberapa riwayat, Kyai Asy’ari pernah kedatangan tamu dari kota
Mekkah yang merupakan salah satu temannya, satu riwayat menyebutkan sempat
berguru kepada Kyai Asy’ari. Dan tamu itu adalah cucu dari pengarang kitab I’anatut
Thalibin, Syech Muhammad Abu Bakar as-Syatho’. Saat beberapa waktu bertamu
di Kaliwungu, tamu tersebut jatuh sakit dan akhirnya wafat di Kaliwungu,
kemudian dimakamkan di Jabal Nur (samping makam Kyai Asy’ari).
Setelah
puluhan tahun mengabdikan diri kepada masyarakat dan santri di Kaliwungu,
dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama dan teladan-teladan yang mulia. Pada sekitar
tahun 1876, Kyai Asy’ari meninggalkan dunia untuk selama-lamanya menuju rahmat
Allah swt. dan dimakamkan di bukit Jabal Nur, Protowetan, Kaliwungu.
Jasa dan pengabdian Kyai Asy’ari masih terlihat jelas sampai sekarang ini, baik
Masjid, Pesantren maupun jasanya membenahi dan menjadikan Kaliwungu menjadi
Kota yang disinari dengan ilmu-ilmu agama dan suasana yang lebih Islami dengan
banyaknya santri dan Kyai.
Berkat jasa
dan dakwah Kyai Asy’ari itulah, Kaliwungu menjadi terang kembali dengan
munculnya beberapa ulama, Pesantren dan Madrasah. Diantara ulama yang menjadi
penerus perjuangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu sekaligus santri beliau adalah KH. Musa atau Kyai Musa. Kyai Musa
adalah ulama yang pernah mondok di Pesantren Kyai Asy’ari dan pernah di bai’at
menjadi pengikut Thariqah as-Syathariyyah oleh Kyai Asy’ari selaku
Khalifah Thariqah as-Syathariyyah.
Kyai Musa merupakan
Kyai ‘alim yang mempunyai putra-putra yang hampir semuanya menjadi ulama dan
tokoh masyarakat di Kaliwungu dan sekitarnya. Diantara putra-putra Kyai Musa
adalah KH. Abdurrasyid (mempunyai putra; KH. Ahmad Badawi, KH. Utsman dan
lain-lain), KH. Irfan (mempunyai putra; KH. Humaidullah, KH. Ibadullah, KH.
Ahmad Dum, KH. Abdul Aziz, dan lain-lain), KH. Abdullah (mempunyai putra; KH.
Ahmad Ru’yat dan lain-lain), KH. Ridwan (mempunyai putra; KH. Asror dan
lain-lain) dan lain sebagainya.
Pada masa
itu, Kyai Musa merupakan ulama besar yang sangat disegani oleh santri dan masyarakat
Kaliwungu. Dengan posisinya sebagai panutan sekaligus penerus perjuangan
gurunya itulah, Kyai Musa merasa mempunyai tanggung jawab untuk membimbing
santri dan masyarakat menuju jalan yang diridhoi Allah swt. Berkah dari ikhtiar
dan pengabdian Kyai Musa itulah, putra-putra Kyai Musa menjadi ulama dan tokoh
masyarakat yang juga disegani masyarakat. Bahkan penerus dan keturunan Kyai
Musa banyak yang bisa mendirikan Pesantren di Kaliwungu, seperti KH. Irfan
(mendirikan Ponpes Salaf APIK), KH. Ahmad Badawi (mendirikan Ponpes Tahfidz
Miftahul Falah), KH. Ahmad Dum (mendirikan Ponpes Salaf ARIS), KH. Humaidullah
(mendirikan Ponpes Salaf Benda Kerep), KH. Asror (mendirikan Majlis Ta’limul
Qur’an Kauman), KH. Ibadullah (ulama besar), KH. Ahmad Ru’yat (Waliyullah) dan
lain sebagainya. Dengan semakin banyaknya Pesantren, Madrasah dan Majlis-Majlis
Ilmu yang didirikan dan dilestarikan oleh penerus dan keturunan Kyai Musa
tersebut. Dengan sendirinya Kaliwungu menjadi pusat ilmu-ilmu agama dan
dikemudian hari lahirlah istilah Kaliwungu Kota Santri. Dan sebutan itu
tidaklah berlebihan, karena pada kenyataannya, Kaliwungu adalah Kota Pesantren
sejak masa Sunan Katong dan Kyai Asy’ari sampai pada masa sekarang ini.
Kaliwungu…
Lahirnya, dari
seorang santri
Hangatnya, karena
banyaknya Kyai
Besarnya,
karena ribuan santri
Terangnya, karena
masyarakatnya Islami
Maka, sudah
seharusnya kita pertahankan dan lestarikan Kaliwungu menjadi Kota Santri dengan
budaya yang lebih Islami. Agar daerah dan masyarakatnya menjadi nyaman, aman
dan damai dalam lindungan rahmat Allah swt.
Wallahu
A’lam
al-Faqier
ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
13-03-14,
Kaliwungu Kota Santri
Baca Juga :