“Musa bin Isma‘il bercerita kepada kami, Abu ‘Awanah bercerita kepada kami, Abdul Malik bercerita kepada kami dari Rib‘iy bin Hirasy, ia berkata, ‘Uqbah bin ‘Amr berkata kepada Hudzaifah, “Sudikah kiranya kamu bercerita kepada kami sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw.?” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, ‘Sesungguhnya ketika Dajjal keluar dengan membawa air dan api, maka api yang dilihat oleh manusia hakikatnya adalah air yang dingin, sedangkan air yang dilihat oleh manusia, hakikatnya adalah api yang membakar. Maka barang siapa di antara kalian menjumpai hal demikian, maka hendaklah ia menempatkan diri (memilih) api, karena sesungguhnya ia adalah air tawar yang dingin.’ Hudzaifah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya ada seorang laki-laki sebelum kamu didatangi oleh malaikat untuk mencabut ruhnya; lalu ditanyakan kepadanya, ‘Apakah kamu berbuat kebaikan?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah.’ Ia berkata, ‘Aku tidak tahu apa pun, hanya saja aku pernah berbai‘at kepada manusia semasa di dunia, aku membalas mereka dan memberi tangguh kepada orang kaya serta membebaskan orang yang kesulitan.’ Lalu Allah memasukkannya ke surga.’” Hudzaifah berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang hampir meninggal dunia, tatkala ia telah merasa putus asa terhadap hidupnya, ia berpesan kepada keluarganya, ‘Apabila aku mati, maka kumpulkanlah kayu bakar yang banyak dan nyalakanlah api padanya, sehingga apabila api itu telah membakar daging dan tulangku, maka ambillah (sisa bakaran tersebut) dan tumbuklah. Kemudian carilah hari yang berangin kencang dan taburkanlah (tumbukan tulangku) ke sungai.’ Keluarganya pun melaksanakan (wasiat)nya, lalu Allah menghimpunnya dan bertanya kepadanya, ‘Kenapa kamu berbuat demikian?’ Ia menjawab, ‘Karena takut kepada-Mu.’ Maka Allah mengampuninya. Uqbah bin Amr berkata, ‘Aku mendengar beliau bersabda demikian dan orang tersebut merupakan tukang gali kubur.’” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Bad'ul-Khalqi, Bab Sesuatu yang Disebutkan Tentang Bani Israil, Jilid IV halaman 169)
PENJELASAN HADIS
Yang dimaksud Musa bin Isma‘il sebagaimana dalam hadis adalah Al-Minqari. Abu ‘Awanah adalah Al-Wadhdhah bin Abdullah Al-Yasykari. Abdul Malik adalah Ibnu Umair Al-Kufi. Rib‘iy adalah Ibnu Hirasy Al-Ghatafani. Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari yang terkenal dengan nama Al-Badri dan Hudzaifah adalah Ibnul Yaman.
“Sesungguhnya ketika Dajjal keluar dengan membawa air dan api...” Imam Muslim dari Abu Hurairah menyebutkan dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
“Sesungguhnya Dajjal datang dengan membawa sesuatu seperti surga dan neraka. Apa yang dikatakan olehnya surga, itulah neraka.”
Hadis ini menunjukkan adanya fitnah Dajjal yang diberikan oleh Allah untuk menguji para hamba-Nya, kemudian Allah membukakan keburukan dan menampakkan kelemahannya. Menurut Imam Nawawi, hadis-hadis yang berkenaan dengan Dajjal adalah shahih. Hal tersebut dapat diketahui dari seringnya Nabi saw. memohon perlindungan kepada Allah dari fitnah Dajjal. Menurut beliau, kita tidak diperkenankan mengingkarinya, hanya saja keberadaan Dajjal merupakan sesuatu yang ghaib, yang wajib kita percayai dan kita serahkan pengetahuan dan waktunya kepada Allah Ta‘ala.
“...taburkanlah...” Maksudnya terbangkanlah di angin sehingga berhamburan. “Keluarganya pun melaksanakan...” Yakni anakanaknya melaksanakan wasiat (pesan) ayah mereka. “...lalu Allah menghimpunnya...” Yakni Allah menghimpun atom-atomnya dan menghidupkannya kembali. “...kenapa kamu berbuat demikian...?” Yang dimaksud adalah, mengapa kamu berwasiat kepada anakmu untuk membakar jasadmu dan menyuruh mereka menaburkannya ke udara. “...karena takut kepada-Mu...” Ini adalah jawaban orang tersebut ketika ditanya oleh Allah, kemudian Allah pun mengampuninya. “...orang tersebut merupakan tukang gali kubur...” Selain itu, orang tersebut juga tidak memiliki amal yang baik, profesinya hanya sebagai penggali kubur dan pencuri kain kafan mayat. Dari segi lahiriah, hadis ini merupakan perkataan Uqbah. Akan tetapi, Ibnu Hibban meriwayatkan melalui sanad Rib‘iy dari Hudzaifah:
“Seorang laki-laki penggali kubur (untuk mencuri kain kafan) meninggal, lalu ia berkata kepada anaknya, ‘Bakarlah aku.’” Demikian penjelasan Imam Nawawi yang diambil dari kitab Qasthalani.
“Abul Walid bercerita kepada kami, Abu ‘Awanah bercerita kepada kami dari ‘Uqbah bin Abdul Ghafir dari Abu Sa‘id Al-Khudri ra. dari Nabi saw. bahwasanya seorang yang sebelummu diberi kenikmatan harta oleh Allah. Ketika ia akan meninggal, ia berkata kepada anak-anaknya, “Menurut kalian, aku ini ayah macam apa?” Mereka menjawab, “Ayah yang terbaik.” Ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak pernah berbuat baik, apabila aku meninggal, maka bakarlah aku, kemudian hancur luluhkan dan taburkanlah (jasadku) pada hari yang berangin kencang.” Anak-anaknya pun melakukan (wasiat) nya. Lalu Allah Azza wa Jalla menghimpunnya dan berfirman, “Apa yang mendorongmu melakukan hal demikian?” Ia menjawab, “Takut kepada-Mu.” Maka Allah memberikan rahmat-Nya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Bad'ul Khalqi, Jilid IV halaman 176)
“ Musaddad bercerita kepada kami, Abu Awanah bercerita kepada kami dari Abdul Malik bin Umair dari Rib‘iy bin Hirasy, ia berkata, Uqbah bin Amr Al-Anshari berkata kepada Hudzaifah, “Sudikah kiranya kamu bercerita kepada kami sesuatu yang kamu dengar dari Nabi saw.?” Ia menjawab, “Aku mendengar beliau bersabda, “Sesungguhnya ada orang yang hampir mati, ketika ia telah merasa putus asa dari hidup ia berpesan kepada keluarganya, “Apabila aku mati, maka kumpulkanlah kayu yang banyak untukku. Kemudian nyalakanlah api, sehingga apabila api itu telah membakar daging sampai ke tulangku, maka ambil dan tumbuklah jasadku kemudian tebarkanlah ke laut pada hari yang panas atau hari yang berangin. Lalu Allah menghimpunnya dan berfirman, “Kenapa kamu melakukan demikian?” Ia menjawab, “Karena takut kepada-Mu.” Maka Allah mengampuninya.” (HR. Bukhari)
“Abdullah bin Muhammad bercerita kepada kami, Hisyam bercerita kepada kami, Ma‘mar memberitakan kepada kami dari Az-Zuhri dari Humaid bin Abdur Rahman dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda, “Ada seseorang yang bertindak keterlaluan terhadap dirinya.” Ketika hampir mati, ia berkata kepada anak-anaknya, “Jika aku mati bakarlah aku, remukkanlah (jasad)ku kemudian taburkanlah di angin. Demi Allah, jika Tuhanku berkehendak terhadapku, niscaya Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun.” Ketika ia meninggal, wasiatnya pun dilaksanakan. Kemudian Allah memerintahkan bumi dan berfirman, “Kumpulkanlah apa yang ada padamu.” Bumi pun melaksanakan perintah Allah. Tiba-tiba orang tersebut dapat berdiri (setelah dihidupkan lagi) lalu Allah berfirman, “Apakah yang mendorongmu berbuat demikian?” Ia menjawab, “Wahai Tuhanku, yang mendorong adalah ketakutanku kepada-Mu.” Lalu Allah pun mengampuninya.” Dalam sanad lain (selain Abu Hurairah) disebutkan, “Takut kepada-Mu wahai Tuhanku.” (HR. Bukhari)
“Isma‘il bercerita kepada kami, Malik bercerita kepada kami dari Abu Zinad dari Al-A‘raj dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Seorang laki-laki yang tidak pernah berbuat kebaikan berkata, ‘Apabila ia meninggal, maka bakarlah ia dan tebarkanlah separo (jasad)nya di daratan dan separonya di lautan, maka demi Allah jika Allah berkehendak atasnya, niscaya Dia pasti akan menyiksanya dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seseorang pun di dunia. Kemudian Allah memerintahkan lautan dan daratan untuk mengumpulkan apa yang ada di dalamnya. Kemudian Allah berfirman, ‘Kenapa kamu berbuat (demikian)?’ Ia menjawab, ‘Karena takut kepada-Mu sedang Engkau lebih mengetahui.’ Maka Allah pun mengampuninya.” (Dikutip dari Shahih Bukhari, Bab Mereka Berkehendak untuk Mengganti Firman Allah, Jilid IX halaman 145)
“Abdullah bin Abul Aswad bercerita kepada kami, Mu‘tamir bercerita kepada kami, ia berkata, aku mendengar Abu Sulaiman At-Taimi, Qatadah bercerita kepada kami dari Uqbah bin Abdul Ghafir dari Abu Sa‘id ra. dari Nabi saw. bahwasanya beliau menuturkan seorang laki-laki di masa lampau atau orang yang sebelummu mengatakan suatu perkataan, yakni ia diberi anak dan harta benda oleh Allah. Ketika kematiannya hampir tiba, ia berkata kepada anak-anaknya, “Menurut kalian, aku ini ayah macam apa?” Mereka menjawab, “Sebaik-baik ayah.” (Orang/ayah yang disebut sesungguhnya tidak memiliki amal kebaikan di sisi Allah, sehingga jika Allah berkehendak atasnya, niscaya Allah akan menyiksanya). Ia berkata, “Perhatikanlah oleh kalian, jika aku mati bakarlah aku, sehingga ketika aku telah menjadi arang (abu) lumatkanlah atau hancurkanlah aku, dan taburkanlah (jasad)ku pada hari yang berangin kencang.” Nabi saw. bersabda, “Ia mengambil perjanjian mereka atas yang demikian itu. Demi Tuhanku, mereka melaksanakan wasiatnya dan menaburkan (jasad ayahnya) pada hari yang berangin kencang. Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Jadilah’ tiba-tiba ia berdiri, lalu Allah berfirman, ‘Hai hamba-Ku apa yang mendorongmu melakukan apa yang telah kamu lakukan itu?’ Ia menjawab, ‘Takut kepada-Mu atau takut berpisah dari-Mu.’” Beliau bersabda pula, “Ketika Tuhan bertemu dengannya, Dia memberikan rahmat.” Beliau bersabda pula, “Dia tidak menjumpainya selain dengan rahmat.” (HR. Bukhari)
“Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda, “Seorang laki-laki bertindak melebihi batas terhadap nya. Ketika hampir meninggal, ia berpesan kepada anak-anaknya, “Jika aku mati, maka bakarlah aku kemudian lumatkanlah aku, setelah itu taburkanlah aku di lautan. Demi Allah, jika Tuhan berkehendak atasku, niscaya Dia menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun.” Anak-anaknya pun melaksanakan (wasiat ayahnya). Allah berfirman kepada bumi, “Tunaikanlah apa yang kamu ambil.” Tiba-tiba laki-laki itu berdiri (hidup lagi). Allah berfirman kepadanya, “Apa yang mendorongmu berbuat demikian?” Ia menjawab, “Takut atau ketakutan kepada-Mu wahai Tuhanku.” Maka Allah mengampuninya karena (alasan) itu. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, Hamisy Qasthalani, Jilid X halaman 184)
“Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang bertindak melebihi batas terhadap dirinya, hingga ketika kematiannya hampir tiba ia berkata kepada keluarganya, ‘Apabila aku telah mati, maka bakarlah aku kemudian taburkanlah (jasad)ku pada angin di lautan. Demi Allah, jika Allah berkehendak atas aku, niscaya Dia menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun dari makhluk-Nya.’” Beliau bersabda, “Maka keluarganya melaksanakannya. Allah Azza wa Jalla berfirman kepada setiap sesuatu yang telah mengambil haknya (bumi), ‘Tunaikanlah apa yang telah kamu ambil.’ Tiba-tiba orang tersebut berdiri (hidup lagi). Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Apa yang mendorongmu berbuat (berpesan) demikian?’ Ia menjawab, ‘Takut kepada-Mu.’ Maka Allah mengampuni-Nya.” (Diriwayatkan oleh Imam Nasa'i dalam Sunannya, Jilid IV halaman 112-113)
“Dari Hudzaifah Ibnul Yaman ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Zaman dulu, ada seorang laki-laki yang berburuk sangka terhadap amalnya. Ketika kematiannya hampir tiba, ia berwasiat kepada keluarganya, “Jika aku mati, maka bakarlah aku, kemudian lumatkanlah aku dan tebarkanlah (jasad)ku di lautan. Jika Allah berkehendak atasku, niscaya Dia tidak memberi ampun kepadaku.” Beliau bersabda, “Maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan malaikat, kemudian malaikat menjumpai ruhnya. Allah berfirman kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan demikian?” Ia menjawab, “Wahai Tuhanku, aku melakukannya hanya karena takut kepada-Mu.” Maka Allah mengampuninya. (Diriwayatkan oleh Imam Nasa'i dalamSunannya, Jilid IV halaman 112-113)
“Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Seseorang yang bertindak melebihi batas terhadap dirinya, ketika kematiannya hampir tiba ia berpesan kepada anak-anaknya, ‘Jika aku telah mati, bakarlah aku kemudian lumatkanlah aku dan tebarkanlah aku pada angin di lautan. Demi Allah jika Tuhanku berkehendak atasku, niscaya Dia menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun.” Beliau bersabda, “Anak-anaknya pun melaksanakan (wasiat)nya.” Allah berfirman kepada bumi, “Tunaikanlah apa yang telah kamu pungut.” Tiba-tiba ia berdiri, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan hal ini?” Ia menjawab, “Wahai Tuhanku, aku melakukan demikian karena takut kepada-Mu atau khawatir kepada-Mu.” Maka Allah pun mengampuninya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, Jilid II halaman 292-293)
PENJELASAN HADIS
Lafal ” رَغَسَهُ “ sebagaimana yang terdapat dalam hadis bermakna ” اَعْطَاهُ “ yang berarti memberinya. Sedangkan lafal “Lam Yabta’ir” dalam redaksi lain disebutkan dengan lafal “Lam Yabta’iz”. Imam Bukhari menyebutkan dua versi dikarenakan terdapat keraguan dalam periwayatannya. Dalam riwayat lain, disebutkan pula dengan lafal “Lam Yabta’ir” yang berarti tidak memiliki kebaikan di sisi Allah. Yang dimaksud yaitu, bukannya tidak memiliki kebaikan sama sekali, akantetapi orang tersebut masih memiliki kebaikan dalam segi tauhid, oleh karena itu Allah mengampuninya. Seandainya orang tersebut tidak memiliki tauhid, niscaya ia pasti akan disiksa dan tidak diampuni oleh Allah.
“Jika Allah berkehendak atasku...” Yang dimaksud adalah, jika Allah menyempitkanku, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang terbatas rezekinya.” (QS. Aṭ-Ṭalāq/65: 7)
Seperti firman Allah dalam mengisahkan Nabi Yunus as., yakni ia menduga bahwa Allah tidak akan menyempitkannya. Hal tersebut bukan berarti mereka ragu terhadap kekuasaan Allah yang bisa menghidupkan mereka kembali dan mereka tidak pula ingkar terhadap hari kebangkitan, karena jika mereka ingkar terhadap hal-hal tersebut, berarti mereka tidak yakin dan tidak percaya kepada Allah. Padahal keimanannya telah nyata, ini terbukti dari hal-hal yang dilakukan oleh mereka seperti meminta ahli waris membakar jasad mereka, hal tersebut dilakukannya karena takut kepada Allah Ta‘ala.
Menurut Imam Nawawi, mereka melakukan demikian dalam keadaan terkejut dan takut kepada Allah, sehingga apa yang diwasiatkannya tidak dipikir terlebih dahulu. Wasiat tersebut tak ubahnya seperti wasiat yang dilakukan oleh orang yang lupa ingatan, yang mana ucapannya tidak dikenai pertanggungjawaban dan pada hakekatnya mereka tidak mengucapkan hal tersebut dengan sengaja.
“Sehingga apabila aku telah menjadi arang, maka lumatkanlah aku, apabila ada hari yang berangin kencang, maka taburkanlah aku padanya, lalu ia minta kesanggupan anak-anaknya untuk melaksanakan yang demikian. Demi Tuhanku.” (Ini sumpah Nabi saw. yang memberitahukan hadis ini). “Fa ma talafahu an rahimahu ‘indaha”. Pengarang Al-Kawakib berkata: Mā adalah maushul artinya yang ditemui adalah rahmat. Atau Mā nafi yang istitsnanya dihilangkan. Artinya, Allah tidak menjumpainya kecuali dengan rahmat-Nya. Ini dikuatkan oleh sabda beliau:
“Dia tidak menjumpainya kecuali dengan rahmat dan ampunan-Nya.” (Penjelasan dikutip dari Syarah Qasthalani, Jilid II. Hal 439).
Adapun hadis yang berkenaan dengan seorang laki-laki yang tidak beramal baik, lalu berpesan kepada anak-anaknya agar membakar dan menaburkan jasadnya di lautan dan daratan dengan berkata, “Demi Allah, jika Tuhanku berkehendak atasku, niscaya Dia menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun.” Kemudian Allah berfirman, “Mengapa engkau berbuat demikian?” Ia menjawab, “Karena takut kepada-Mu wahai Tuhanku, sedang Engkau Maha Mengetahui.” Maka Allah mengampuninya.
Menurut Imam Nawawi, para ulama berbeda pendapat mengenai pemaknaan hadis di atas, di antaranya yaitu:
a.) Ulama pertama berpendapat, tidak diperkenankan menghukumi orang sebagaimana terdapat di dalam hadis sebagai orang yang ingkar terhadap kekuasaan Allah, karena orang yang meragukan terhadap kekuasaan Allah adalah kafir. Sedangkan orang tersebut melakukan hal itu (menyuruh anaknya agar membakar dirinya) karena takut kepada Allah Ta‘ala, padahal orang kafir itu jelas tidak takut kepada Allah dan tidak diberi ampunan. Berdasarkan hal ini, mereka memaknai hadis di atas dengan dua takwil.
1.) Lafal “La’in qadar ‘alayyal ‘adzab” dibaca dengan dua versi, yaitu “qadara” (tanpa tasydid) dan “qaddara” (dengan tasydid) yang berarti “am qadlahu” (jika Allah memutuskan/menakdirkannya).
2.) Kata “qadar” bermakna “dlayyaqa ‘alayya” yang berarti sempit atasku. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Lalu membatasi rezekinya.” (QS. Al-Fajr/89: 16) Yang merupakan salah satu tafsir dari firman Allah: “Lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya.” (QS. Al-Anbiyā'/21: 87)
b.) Kelompok ulama yang kedua berpendapat, hadis sebagaimana di atas dapat diartikan secara lahiriah. Hanya saja menurut mereka, orang yang berwasiat sebagaimana dalam hadis tidak menyadari terhadap apa yang diwasiatkan dan tidak pula bermaksud meragukan kekuasaan Allah. Hal ini terjadi karena dalam keadaan yang sangat terkejut, takut dan sangat menyesal, dimana ia kehilangan kesadaran terhadap apa yang diucapkannya, sehingga ia menjadi seperti orang yang lengah dan lupa yang mana keadaan semacam itu dapat menghindarkannya dari segala tuntutan. Hal semacam ini tak ubahnya seperti perkataan orang yang sangat gembira karena menemukan kendaraannya (yang hilang):
“Kamu hambaku dan aku pemilikmu.”
Dalam kasus ini, seseorang tidak dihukumi kafir karena ia mengucapkannya dalam keadaan terkejut dan lupa. Dalam riwayat selain Muslim, disebutkan dengan redaksi:
“Barangkali aku menyesatkan Allah.”
Maksudnya barangkali aku dapat bersembunyi dari Allah. Hadis di atas menunjukkan, bahwa kata:
“Jika Allah kuasa atasku.”
Dapat diartikan secara lahiriah.
Ada lagi yang berpendapat, bahwa kata-kata yang terdapat dalam hadis sebagaimana di atas merupakan suatu majaz (kiasan) yang menurut orang Arab mereka sebut dengan: “Majzu asy-syakki bil yaqin” (mencampurkan keraguan terhadap hal yang yakin), sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Saba'/34: 24)
Secara tekstual, ayat di atas menunjukkan adanya keraguan, akan tetapi, yang dimaksud adalah suatu keyakinan.
Ulama lain berpendapat, orang sebagaimana terdapat dalam hadis adalah orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafirnya orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah. Menurut Al-Qadhi, di antara ulama yang menganggap kafirnya orang yang tidak mengetahui sifat-sifat wajib Allah adalah Ibnu Djarir Ath-Thabari, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Abul Hasan Al-Asy‘ari.
Ada lagi yang berpendapat, bahwa orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah tidak dihukumi kafir dan tidak pula keluar dari koridor iman. Hal demikian tentunya berbeda dengan orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah, karena memang sengaja menentangnya (tidak mengakui sifat-sifat Allah). Inilah argumentasi yang dikemukakan oleh Abul Hasan Al-Asy‘ari. Berdasarkan hal ini, maka orang sebagaimana dalam hadis tidak dihukumi kafir, karena ia tidak meyakini dan memastikan kebenaran dari apa yang diucapkannya. Mereka berpendapat, seandainya orang-orang ditanya tentang sifatsifat Allah niscaya orang yang mengetahuinya hanya sedikit.
Ada juga yang berpendapat, bahwa orang sebagaimana yang tersebut dalam hadis hidup pada masa fatroh (tidak ada utusan Allah), sehingga bertauhid saja sudah dianggap cukup. Di sisi lain, terdapat pendapat shahih yang menyatakan tidak adanya taklif (pembebanan hukum) sebelum datangnya syariat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā'/17: 15)
Sedangkan sebagian ulama lagi ada yang menyatakan bahwa, syariat yang berlaku pada masa itu mengandung kemungkinan diampuninya dosa orang-orang kafir, yang mana hal tersebut tentunya berbeda dengan syariat kita. Menurut ulama ahli sunnah, kemungkinan sebagaimana di atas adalah kemungkinan yang berdasarkan pada argumentasi akliyah (akal). Adapun pengertian yang berlaku dalam syariat kita adalah sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik).” (QS. An-Nisā'/4: 48)
Selain ayat di atas juga terdapat dalil-dalil yang lain.
Ada lagi yang menyatakan bahwa, orang sebagaimana terdapat dalam hadis melakukan wasiat kepada anaknya agar membakar jasadnya sebagai suatu penghinaan dan hukuman atas dirinya. Hal tersebut dikarenakan, mereka merasa telah berbuat maksiat (selama hidup di dunia) dengan harapan melalui apa yang mereka lakukan tersebut, Allah akan memberikan rahmat-Nya, sedangkan ia tahu bahwa hal itu tidak diperbolehkan dalam syariat Islam.
Penjelasan Tambahan
Selain dari hadis yang telah dikemukakan di atas, Imam Muslim dalam Shahihnya juga menyebutkan hadis lain yaitu hadis tentang seorang wanita yang mengekang kucing. Kemudian dinukil dari Az-Zuhri sebagai komentar dari dua hadis itu dengan perkataannya, “Yang demikian itu, agar seseorang tidak hanya bersandar pada suatu harapan dan tidak pula putus asa dari suatu harapan.”
Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“Muhammad bin Rafi‘ dan Abd bin Humaid bercerita kepada kami, Abd berkata, kami diceritai, dan Ibnu Rafi‘ berkata menurut lafalnya, Abdur Razzaq bercerita kepada kami, Ma‘mar bercerita kepada kami, Az-Zuhri berkata kepadaku, “Maukah kamu, aku ceritakan dua hadis yang mengherankan?” Az-Zuhri berkata, “Humaid bin Abdur Rahman bercerita kepadaku dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda, ‘Seseorang bertindak keterlaluan terhadap dirinya. Ketika kematiannya hampir tiba, ia berwasiat kepada anakanaknya. Ia berkata, ‘Apabila aku mati, maka bakarlah aku, kemudian lumatkanlah dan taburkanlah (jasad)ku di angin. Demi Allah, jika Tuhanku berkehendak terhadapku, niscaya Dia menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada salah seorang pun.’ Beliau bersabda, ‘Maka anak-anaknya pun melaksanakan apa yang diwasiatkannya.’ Allah berfirman kepada bumi, ‘Tunaikanlah apa yang kamu perbuat.’ Tiba-tiba ia berdiri, Allah berfirman kepadanya, “Apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Ia menjawab, ‘Takut kepada-Mu wahai Tuhanku.’ Atau ia berkata, ‘Takut kepada-Mu.’ Maka Allah pun mengampuninya. Az-Zuhri berkata, “Dan Humaid bercerita kepadaku dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Seorang wanita masuk neraka karena kucing yang diikatnya, ia tidak memberi makan dan tidak pula membiarkannya lepas mencari makan dari serangga-serangga bumi, sehingga (akhirnya) kucing itu mati.” (HR. Muslim)
Menurut Az-Zuhri, yang demikian itu agar seseorang tidak menggantungkan diri terhadap sesuatu yakni agar ia dapat mengambil pelajaran dari dua kejadian tersebut, seperti; takut terhadap apa yang dilakukan oleh wanita terhadap kucing dan agar ia tidak berputus asa, akan tetapi, senantiasa mengharapkan ampunan Allah dan takut kepada-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki yang terdapat dalam hadis. Wallāhu a‘lam (Demikianlah penjelasan Imam Nawawi dalam Shahih Muslim, Jilid X halaman 182 dari Hamisy Qasthalani)
Sumber : Buku “Kumpulan Hadits Qudsi”