Tasawuf adalah Jalan Kaum Pilihan
Suatu ketika Imam al-Ghazali sedang menyampaikan nasihat kepada para ilmuwan dan para intelektual dalam sebuah majlis, tiba-tiba adik beliau yang dikenal sebagai seorang wali dan ulama sufi yang berilmu tinggi datang menghampiri beliau. Dia lalu melantunkan bait-bait puisi:
Engkau perintah mereka untuk giat beribadah
Tetapi justru engkaulah teladan yang lemah
Engkau lihai menyampaikan ilmu, namun jauh dari hidayah
Engkau pandai memberi nasihat, tapi tidak mendapat ibrah
Wahai batu penajam pisau,
Sampai kapan engkau hanya membuat pisau tajam
Akan tetapi engkau tetap tumpul
Puisi ini keluar dengan dorongan rasa ikhlas yang kuat sehingga mampu menembus hati Imam al-Ghazali yang paling dalam dan mampu menggugah kesadarannya tentang kebenaran hakiki yang harus dicari dan thariqah al-Haq yang segera harus dia jalani.
Sejak kejadian ini, Imam al-Ghazali seringkali merenung dan menyendiri. Ketika itu kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya, Apakah semua yang telah diraih ini adalah kemuliaan yang benar? Apakah jalan yang selama ini dia tempuh adalah kebenaran yang sesungguhnya? Apakah tujuan dan gaya hidup yang selama ini dia ikuti sudah benar atau mungkin justru sangat salah?!. Kalau memang benar, kenapa jasad malas beribadah! Mengapa hati masih jauh dari Allah! Manakah rasa takut kepada Allah dan manakah rasa khawatir kepada nasib akhir di hari kiamat! Dimana sifat kehati-hatian dalam berinteraksi dengan Allah! Bagaimana rasa kedekatan dengan Allah dan seperti apa rasa cinta kepada-Nya?!
Pertanyaan-pertanyaan dan berbagai perasaan ragu di atas membuat Imam al-Ghazali semakin bingung dan goncang, siang dan malam beliau resah dan tidak tenang. Hal itu menyebabkan beliau sulit tidur di malam hari atau beristirahat di siang hari, bahkan membuat beliau banyak diam menyendiri dan tidak lagi semangat menghadiri forum ilmiah yang biasa ia jalani.
Kegoncangan jiwa ini lama sekali menimpa beliau, pada saat itu beliau sering menyendiri dan merenung tentang perjalanan hidupnya selama ini, sambil memohon hidayah dari Allah swt., Dzat yang Maha memberi petunjuk. Muhasabah dan tafakur dia lakukan siang dan malam, hingga akhirnya beliau menerima petunjuk dari Allah swt.
Imam al-Ghazali mulai tidak yakin kepada pengetahuan yang dihasilkan melalui pancaindera sebab pancaindera sering kali salah atau berdusta, disamping dia juga bersifat fana dan sangat melelahkan. Beliau kemudian mencoba meletakkan kepercayaannya kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata ia juga tidak memuaskan, justru ia semakin kebingungan dan kebuntuan. Karena ternyata akal adalah penghalang hati untuk mengenal Allah swt. atau untuk mendekat kepada-Nya. Pada akhirnya, Imam al-Ghazali merasa harus kembali kepada jalan para nabi serta para sahabatnya. Yaitu menempuh jalan kehidupan yang zuhud (tidak cinta dunia) dan wara’ (menjauhi hal-hal yang samar) serta memaksa diri untuk mematikan segala dorongan hawa nafsu yang diterangkan di dalam ilmu tasawuf. Beliau mulai yakin bahwa tasawuflah yang dapat menghilangkan segala keraguan dan kegalauan yang melanda jiwanya dan dengan ilmu “membersihkan hati” itulah dia akan mendapatkan keyakinan yang benar.
Mujahadah dan Riyadhah
Setelah kebimbangan yang lama akhirnya Imam al-Ghazali mendapatkan sebuah keyakinan bahwa dia harus membawa dirinya keluar dari Baghdad dengan meninggalkan segala kenikmatan dan kesenangan duniawi untuk menuju Allah swt. Maka pada tahun 1095 beliau mengundurkan diri dari semua profesi dan jabatannya dan kemudian pergi mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kota ke kota yang lain dan dari satu negara ke negara yang lain. Selama sepuluh tahun beliau hidup sebagai sufi yang zuhud dan melanggengkan tirakat serta mujahadah nafsu dengan kesungguhan hati. Setiap saat beliau selalu melakukan pembersihan qalbu dari segala penyakit dan mengosongkan hati dari selain zikir kepada Allah swt. Awalnya dia menuju Damaskus (Suriah) untuk beri’tikaf di menara masjid jami ’Umawi, kesibukannya hanya zikir, ibadah, puasa, qiyamul lail, menziarahi kubur Nabi Ibrahim as. dan mengekang hawa nafsu dari segala syahwat dan keinginannnya. Semua itu dia lakukan dalam keadaan menyamar sebagai orang biasa yang tidak dikenal.
Setelah dua tahun tinggal di sana beliau pergi menuju Palestina untuk beribadah dan beri’tikaf di masjid al-Aqsha. Setelah beberapa lama di sana hati beliau tergerak oleh kerinduan yang dahsyat kepada kota Makkah dan kota Madinah, maka beliau pergi kesana guna melakukan ibadah haji dan menziarahi makam Nabi Muhammad saw.
Kemudian beliau terbawa rasa rindu kepada kampung halaman dan tempat kelahiran. Maka setelah selama sepuluh tahun berkelana, beliau pulang kembali ke kota Thus pada tahun 1105 M. Kepulangan Imam al-Ghazali sangat mengejutkan penduduk kota Thus, Khurasan dan Baghdad, namun mereka lebih terkejut lagi dengan Imam al-Ghazali yang “baru” dan berbeda dengan Imam al-Ghazali yang dahulu, sekarang beliau adalah seorang Imam al-Ghazali yang wali dan sufi sejati.
Berita tentang kepulangan Imam al-Ghazali juga terdengar oleh Perdana Menteri, para pembesar kerajaan dan para ulama, mereka lalu datang dan berkunjung kepada beliau seraya meminta kepada beliau agar bersedia memimpina an-Nidhamiyyah di kota Nisabur. Pada saat itu beliau menjawab: “Aku ingin lebih banyak beribadah. Sebaiknya tunjuk saja orang yang lain!” Mereka menjawab, “Tidak boleh engkau menyimpan ilmu sementara kaum muslimin sangat membutuhkannya”. Oleh karena tuntutan dan permohonan semakin banyak dan terus meluas maka akhirnya beliau menerima jabatan itu untuk kedua kali. Akan tetapi tugas itu tidak lama di jalankannya. Hanya beberapa saat saja beliau memimpin, kemudian meninggalkannya dan segera kembali ke kota Thus.
Pada masa-masa akhir hidupnya di kota Thus, Imam al-Ghazali hidup sebagai sufi yang mantap, setiap hari kegiatan beliau hanyalah berzikir, membaca Al-Qur’an, puasa di siang hari, qiyamul lail dan mendidik para sufi yang tinggal bersama beliau. Disana beliau mendirikan sebuah Zawiyah (pesantren kaum sufi untuk suluk dan bertirakat) dan sebuah Halaqah untuk membantu para santri yang ingin menimba ilmu. Zawiyah dan Halaqah itu beliau pimpin sendiri sampai akhir hayat beliau.
Guru dan Panutan
Sebagaimana yang tertera di atas, Imam al-Ghazali telah mengambil ilmu dari para ulama dan para wali di zamannya, yang paling terkemuka diantara mereka adalah:
1.) Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Guru saat masih kecil di kota Thus. Beliau ahli fikih dan tasawuf
2.) Abu Nasr Al-Isma’ili. Guru saat belajar di kota Jurjan.
3.) Abul Ma’aly Imam Haramain. Guru saat belajar di kota Nisabur dan merupakan guru yang paling berjasa di dalam membentuk intelektualitasnya.
4.) Yusuf As-sajaj. Guru saat belajar di sekolah kota Thus.
5.) Imam Muhammad Al-Faramidy. Salah seorang murid terkemuka Imam Al-Qusyairi, salah satu tokoh sufi. Darinya Imam al-Ghazali belajar ilmu tasawuf dan praktek pengamalannya.
6.) Abu Sahl al-Hafsyi
7.) Abul Fath al-Hakimi
8.) Abdullah bin Muhammad al-Khawari
9.) Muhammad bin Yahya as-Suja’i
10.) Al-Hafidz Umar ad-Daghistani
11.) Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi
Kepada enam guru terakhir ini Imam al-Ghazali mempelajari berbagai ilmu tentang hadits dan sejarah.
Komentar Para Ulama Tentang Sosok Imam al-Ghazali
A. Para Ulama Syariat
1.) Imam as-Subki, seorang pemimpin ahli Hadis dan Fiqih berkata: “Beliau adalah seorang imam yang mulia dan merupakan singa ilmu yang sangat disegani. Beliau dijuluki Hujjatul Islam karena telah mematikan api fitnah yang dinyalakan oleh kaum ahli bid’ah dan telah menjernihkan Islam dari berbagai paham yang sesat.”
2.) Imam Manawi, pakar Ushul fikih dan Hadis berkata: “Beliau adalah lautan ilmu yang lebih dalam dari seluruh lautan dunia, beliau adalah permata yang lebih indah dari seluruh permata dunia dan beliau adalah seorang yang berilmu tinggi, bahkan lebih tinggi dari langit yang paling tinggi. Dia telah menyelami seluruh lautan ilmu dan meraih seluruh permata termahal yang tersimpan di dalamnya. Hidupnya telah diikhlaskan untuk mengabdi kepada agama dengan menempuh thariqat yang benar dan menghalau berbagai bid’ah yang menyesatkan.”
3.) Ibnu Muqri, seorang hakim yang jujur dan terkemuka berkata: “Dengan menyebut namanya, hati akan tenang dan jiwa akan hidup. Dengan ilmunya, karya-karya ilmiah akan menjadi terhormat dan sangat populer dan saat mendengar nasihatnya semua ulama akan menundukkan kepala dan memperhatikan dengan seksama.”
4.) Imam ahli hadis Ibnu Najjar al-Hanbali berkata: “Beliau adalah pemimpin ulama secara mutlak dan seorang ulama Rabbani yang dikagumi secara aklamasi. Seorang Mujtahid di masanya dan wali Allah yang tiada bandingan. Keharuman namanya telah tersebar di seluruh penjuru dunia dan keutamaannya telah dikenal oleh semua ulama, bahkan seluruh kelompok Islam telah sepakat tentang keagungan dan kemuliaannya serta mengakui kebesaran jasanya di dalam menjawab paham ahli bid’ah. Beliau adalah pembela sunnah dan benteng agama dari segala pemikiran fitnah serta seorang ulama produktif yang karya-karyanya bak matahari, penuh manfaat dan tersebar ke seluruh dunia.”
5.) Imam as-Subki dan Imam as-Suyuthi menjelaskan dan meyakinkan bahwa Imam al-Ghazali adalah Mujaddid (pembaharu agama) pada abad kelima. Pendapat ini kemudian disepakati oleh hampir semua ulama.
6.) Imam Ibnu Asakir dan Imam Ibnu Sam’ani, keduanya telah menulis sejarah Imam al-Ghazali dalam karya yang khusus. Karya mereka sangat panjang dan cukup lengkap.
B. Para Ulama Thariqat dan Kaum Sufi
1.) Imam Abul Hasan asy-Syadzili, pendiri thariqah Syadziliyyah berkata: “Aku pernah bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw., saat itu beliau ditemani oleh Nabi Musa dan Nabi Isa as., dan di antara mereka aku melihat Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu, aku melihat bahwa Nabi Muhammad saw. begitu bangga dengan Imam al-Ghazali, beliau berkata: ‘Wahai Nabi Musa dan Nabi Isa, adakah di antara umat kalian seseorang yang sehebat orang ini (maksudnya al-Ghazali)? Keduanya lalu menjawab: tidak ada’.”
2.) Imam abul Abbas al-Mursi, guru penulis kitab al-Hikam berkata: “Aku bersaksi bahwa Imam al-Ghazali telah mencapai maqam quthbiyyah yang paling agung. (peringkat tertinggi seorang wali menurut istilah para sufi)
3.) Imam Ibnu Arabi, sufi ternama dan kontroversial ini berkata: “Beliau adalah pemimpin ahli thariqat dan panutan besar bagi mereka.”
4.) Imam Abdullah al-Haddad: “Ada dua ulama yang aku belum pernah melihat bandingannya. Yang pertama adalah Imam al-Ghazali sebagai pemimpin ahli syariat. Kedua adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebagai pemimpin ahli hakikat”. Beliau juga berkata: “Jika diibaratkan dengan pakaian, sebenarnya ajaran dan aliran yang terbaik dari Islam telah dibentuk dan dipilih “kainnya oleh Imam al-Ghazali lalu digunting serta diserasikan oleh Imam al-Jailani dan Imam as-Sya’rani, kemudian aku yang telah menjahitnya hingga siap dipakai. Siapakah yang telah siap memakai dan mengamalkannya?!”
Wafatnya Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali wafat di kota Thus, Khurasan, Iran pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. atau tahun 1111 M.
Wallahu A’lam