“…Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Janganlah melakukan syirik jalli dan syirik khafi dalam beribadah kepada-Nya seperti yang dilakukan orang yang riya. Ibnu Abbas berkata: “Amal riya ialah yang dilakukan dengan pamrih dari manusia dan bertujuan supaya dipuji.”
Diriwayatkan dari al-Hasan: Ayat diatas berkenaan dengan orang yang berbuat syirik dalam beramal, yaitu ditujukan untuk Allah dan manusia. Hal ini didasarkan atas keterangan dari Jundub bin Zuhair. Dia berkata kepada Rasulullah saw., “Aku mengerjakan amal untuk Allah. Namun, jika seseorang melihat amalku, aku pun senang.” Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak menerima kecuali amal yang murni untuk-Nya.” Maka diturunkanlah ayat diatas sebagai pembenaran atas sabda Nabi saw.
Amal ini tergantung niat. Jika terlihatnya amal menimbulkan rasa senang supaya dapat diikuti yang lain seperti yang dilakukan kaum mukhlishin yang berpaling dari perkara selain Allah, maka tidak apa-apa. Namun, jika amal itu dimaksudkan semata-mata untuk mendapatkan pujian manusia, meraih popularitas, dan mendapat nama baik, maka amal itu merupakan riya` dan syirik semata. Orang demikian perlu melakukannya secara sembunyi guna memelihara rusaknya amal.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ghalib bahwa apabila pagi tiba, dia berkata, “Kemarin Allah menganugerahiku dengan kebaikan. Aku membaca anu dan mendirikan shalat anu.” Jika dikatakan kepadanya, “Hai Abu Firas, pantaskah orang sepertimu berkata demikian?” Dia menjawab, “Karena Allah Ta’ala berfirman, Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya. (QS. Adh-Dhuha :11) Apakah kalian melarangku menyebut-nyebut nikmat Allah?.”
Hal seperti itu dapat dilakukan jika dimaksudkan untuk mengingat nikmat-Nya, supaya diikuti orang lain, dan dia dapat menghindari fitnah. Namun, yang terbaik ialah melakukan amal secara sembunyi-sembunyi. Jika aspek-aspek ini tidak diperhatikan, maka dia sama seperti orang riya dan sum’ah.
Ayat diatas menyimpulkan kemurnian ilmu dan amal, yaitu ketauhidan dan keikhlasan dalam beramal.
Dalam kitab “Bahrul Ulum” dikatakan: Jika Anda bertanya, apa makna riya? Dijawab: amal untuk selain Allah. Ini didasarkan atas sabda Nabi saw., “Suatu hal yang paling aku khawatirkan dari umatku ialah menyekutukan Allah. Aku tidak mengatakan bahwa mereka menyembah matahari, bulan, pohon, dan berhala, tetapi melakukan amal untuk selain Allah Ta’ala” (HR. Ahmad).
Dalam Hadits lain ditegaskan, “Jika Allah telah mengumpulkan umat terdahulu dan umat kemudian pada hari kiamat, suatu hari yang tidak diragukan lagi, tampillah penyeru menyerukan, ‘Siapa yang menyekutukan Allah dengan seseorang dalam beramal, mintalah pahala amalnya dari selain Allah, sebab Allah sangat tidak memerlukan penyekutuan’.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Wallahu A’lam
ADS HERE !!!