“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya-Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”. (QS. Al-Kahfi : 23 – 24)
As-Samarqandi menegaskan dalam kitab “Bahrul Ulum”: Yang jelas, ayat itu bermakna, jika kamu lupa akan sesuatu, ingatlah Tuhanmu. Mengingat Tuhan tatkala lupa akan sesuatu ialah dengan mengatakan, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada sesuatu yang lain sebagai pengganti dari yang terlupakan itu; yaitu sesuatu yang lebih lurus dan lebih mendekatkan pada kebaikan dan kegunaan.”
Al-Imam menegaskan dalam Tafsirnya: Alasan mengapa mesti mengucapkan ungkapan itu ialah bahwa apabila manusia berkata, “Aku akan mengerjakan anu esok untuk Fulan,” maka mungkin saja dia meninggal sebelum hari esok tiba. Kalaupun dia masih hidup, mungkin saya ada halangan yang membuatnya tidak dapat melakukan hal itu. Jika tidak mengatakan “insya Allah”, berarti dia dusta dalam menjanjikan sesuatu, sedangkan dusta mesti dijauhi dan itu tidak pantas dilakukan para nabi. Karena itu, dia wajib mengatakan “insya Allah”. Kalaulah dia ditakdirkan tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikannya, dia tidak disebut pendusta selama dia tidak benar-benar mengingkarinya.
Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Sulaiman bin Dawud as. berkata, ‘Sungguh, pada malam ini aku akan menggilir keseratus istriku, lalu setiap istri akan melahirkan seorang anak yang akan berjuang di jalan Allah.’ Dia lupa untuk mengatakan “Insya Allah”, sehingga tidak ada seorang pun di antara istrinya yang melahirkan kecuali seorang anak perempuan yang berpenampilan laki-laki.” Nabi saw. melanjutkan, “Demi zat Yang Menguasai diriku, jika dia mengatakan insya Allah, niscaya dia beroleh anak laki-laki” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kitab “Raudlatul Khathib” dikatakan: Seseorang ditanya, “Mau kemana?” Dia menjawab, “Ke pasar untuk membeli keledai.” Dikatakan, “Katakanlah ‘Insya Allah’.”. Dia menjawab, “Aku tidak memerlukan ungkapan itu, sebab dirham berada dalam saku dan keledai berada di pasar.” Ternyata, belum lagi tiba di pasar, uangnya dicuri orang dari sakunya. Dia pun kembali. Kemudian seseorang bertanya, “Dari mana?” Dia menjawab, “Dari pasar, insya Allah. Dirhamku dicuri orang, Insya Allah.”
Ketahuilah, Ibnu Abbas ra. membolehkan pengecualian (mengucapkan “Insya Allah”) seperti dikemukakan ayat diatas. Namun, para fuqaha berpendapat sebaliknya, sebab kalaulah dibolehkan, niscaya sebuah pengakuan takkan tercapai. Maka tidak ada talak, tidak ada kemerdekaan budak, dan tidak diketahui apakah berita tentang perbuatan yang akan dilakukan itu benar atau bohong.
Al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas: Ayat ini berkaitan dengan pembebasan diri dan penyelamatan diri dari dosa. Adapun pengecualian yang mengubah hukum adalah yang diucapkan menyatu dengan pernyataan.
Dalam kitab “Manaqibul Imam al-A’zham” dikatakan: Diriwayatkan bahwa Muhammad bin Ishak, penyusun kitab “al-Maghazi”, iri kepada Abu Hanifah karena dia melihat Khalifah al-Manshur memperlakukannya dengan istimewa dibanding ulama lainnya. Ketika duduk dekat Amirul Mukminin Abu Ja’far al-Manshur, Muhammad bin Ishak berkata kepada Abu Hanifah, “Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang bersumpah lalu diam. Setelah lama mengucapkan sumpahnya, dia melontarkan Insya Allah.” Abu Hanifah menjawab, “Ucapan ‘Insya Allah’ itu tidak berlaku, sebab terjadi jeda panjang. ‘Insya Allah’ itu hanya berlaku jika dituturkan menyatu dengan pernyataan.” Muhammad bin Ishak berkata, “Bagaimana mungkin tidak berlaku, padahal kakek Amirul Mukminin, yaitu Abdullah bin Abbas, berpendapat bahwa ‘Insya Allah’ itu tetap berlaku walaupun setelah satu tahun karena berdasarkan firman Allah, “Dan ingatlah kepada Tuhanmu, jika kamu lupa?”. Amirul Mukminin berkata, “Demikiankah pendapat kakekku?” Muhammad bin Ishak mengiyakannya. Al-Manshur berkata kepada Abu Hanifah, “Hai Abu Hanifah, mengapa engkau menyalahi pendapat kakekku?” Abu Hanifah menjawab, “Karena Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa takwil itu membatalkan kesahihan.”
Kemudian Abu Hanifah berkata kepada Amirul Mukminin, “Sebenarnya orang ini (Muhammad bin Ishak) dan teman-temannya berpandangan bahwa engkau tidak layak menjadi khalifah, sebab setelah mereka membai’atmu, lalu mereka keluar sambil melontarkan ‘Insya Allah’, sehingga mereka membatalkan bai’at terhadapmu, tetapi di pundaknya tidak ada beban pembatalan.”
Maka Amirul Mukminin berkata kepada pengawalnya, “Tangkaplah orang ini.” Mereka pun menangkap Muhammad bin Ishak dan memenjarakannya.
Wallahu A’lam