“Abdul Aziz bin Abi Salamah bercerita kepada kami dari putra Hilal, dari Atha' bin Yasar, dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash ra., bahwasanya ayat ini yang terdapat di dalam Al-Qur'an, “Hai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi dan pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” Allah berfirman dalam Taurat, “Wahai Nabi, sesungguhnya Aku mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan serta penjaga umat, kamu adalah hamba dan Rasul-Ku. Aku memberi nama kamu Al-Mutawakkil (orang yang tawakal), tidak berperangai buruk dan tidak pula kasar, tidak berteriak-teriak di pasar, tidak menolak keburukan dengan keburukan tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah tidakakan mematikannya sehingga ia menegakkan agama yang bengkok dengan risalah yang dibawanya, agar mereka mengucapkan, “Tidak ada tuhan melainkan Allah, yang dengan kalimat tauhid itu Allah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari ra. tentang sifat Nabi dalam Taurat dari surah Al-Fatḥ Bab Firman Allah Ta‘ala, Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Jilid VI halaman 136)
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari ra. dalam permulaan Kitab Jual Beli, melalui sanad Atha' bin Yasar sebagai berikut:
“Atha' bin Yasar berkata, saya bertemu dengan Abdullah bin Amr bin Ash ra. kemudian saya bertanya kepadanya, beritahukan kepadaku tentang sifat-sifat Rasulullah saw. yang ada dalam Kitab Taurat.” Ia berkata, “Ya, Demi Allah sesungguhnya Nabi telah disifati di dalam Kitab Taurat dengan sebagian sifatnya yang ada dalam Al-Qur'an: Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan ...” sampai akhir hadis.
PENJELASAN HADIS
Pertanyaan dari Atha' bin Yasar kepada Abdullah bin Amr bin Ash sebagaimana hadis di atas dikarenakan, Abdullah bin Amr bin Ash telah membaca Kitab Taurat dan mengetahui apa yang terkandung di dalamnya. Adapun “ajal” sebagaimana perkataan Abdullah bin Amr bin Ash merupakan huruf jawab seperti kata “na‘am” yang berarti “iya”. Dengan demikian, kata tersebut menunjukkan pembenaran bagi orang yang memberitakan, pemberitahuan bagi orang yang minta kabar dan janji bagi orang yang menuntut.
Imam Al-Akhfasy, mengartikan kata “ajal” dalam kitab Al-Mughni sebagaimana yang disebutkan dalam kamus, dengan kata “na‘am”. Hanya saja menurut beliau, kata “ajal” selain berfungsi sebagai jawaban, kata “ajal” juga menunjukkan pembenaran terhadap pertanyaan yang dimaksud, sedangkan kata “na‘am” hanya sekedar sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan saja.
Imam Ath-Thibi menjelaskan, kata “ajal” sebagaimana yang terdapat dalam hadis menunjukkan jawaban dari suatu perintah, dengan mengira-ngirakan kalimat: “Kamu membaca Taurat, apakah kamu menemukan sifat Rasulullah di sana? Maka beritakanlah kepadaku!” Kemudian orang yang ditanya menjawab, “Ajal (iya).”
“Demi Allah sesungguhnya Nabi telah disifati di dalam Kitab Taurat dengan sebagian sifatnya yang ada dalam Al-Qur'an...” Hadis ini menunjukkan kebenaran terhadap hal yang diberitakan oleh orang yang memberitakannya. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya taukid (penguat) yang terdapat dalam hadis tersebut, di antaranya yaitu:
a.) Sumpah dengan nama Allah.
b.) Jumlah ismiyah.
c.) Menggunakan inna (sesungguhnya).
d.) Masuknya lam ta'kid (lam penguat) pada khabar.
“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan...” Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. diutus sebagai saksi baik bagi umatnya yang beriman maupun yang kafir. Beliau bersaksi terhadap keimanan umatnya yang mukmin dengan pembenaran mereka terhadap Rasulullah saw. dan bersaksi terhadap kekafiran orang yang mendustakannya. Rasulullah saw. memberikan kabar gembira bagi umatnya yang beriman dengan masuk surga, memberi peringatan terhadap umatnya yang kafir dengan masuk neraka. Selain itu, Rasulullah saw. juga diutus sebagai benteng orang-orang Arab yang ummi (tidak dapat menulis dan membaca). Hal tersebut dikarenakan, pada waktu itu umumnya mereka tidak dapat membaca dan menulis.
“Kamu adalah hamba dan Rasul-Ku. Aku memberi nama kamu Al-Mutawakkil (orang yang tawakal)...” Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. adalah seorang Rasul yang senantiasa ridha terhadap rezeki yang sedikit, bersandar kepada Allah dalam memohon pertolongan, sabar dalam menanti kelapangan, berakhlak yang baik dan yakin terhadap kesempurnaan janji Allah Ta‘ala. Oleh karena itu, beliau memperoleh predikat Al-Mutawakkil (orang yang bertawakal). Beliau bukan orang yang buruk akhlaknya, bukan pembangkang dan bukan pula orang yang kasar atau keras hatinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta‘ala:
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS. Ᾱli ‘Imrān/3: 159)
Hal-hal sebagaimana di atas yaitu dinisbatkan kepada orang-orang mukmin. Adapun bila dinisbatkan kepada orang-orang kafir dan munafik, maka Allah swt. menyuruh beliau untuk bersikeras terhadap mereka sebagaimana firman-Nya:
“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orangorang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Taubah/9: 73)
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. bukanlah orang yang banyak berteriak di pasar, namun beliau adalah orang yang lemah lembut dan sayang kepada orang-orang. Dengan demikian, hadis ini juga menunjukkan buruknya kebiasaan yang dilakukan oleh orang pasar seperti berteriak-teriak, hiruk-pikuk, berlebihan dalam memuji barang yang dijual dan sumpah palsu. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Seburuk-buruk tempat adalah pasar-pasar.”
Hal tersebut dikarenakan, pada umumnya tukang pasar senantiasa bersifat dengan sifat-sifat yang tercela.
“Tidak menolak keburukan dengan keburukan, tetapi beliau memaafkan dan mengampuni...” Yakni beliau senantiasa memaafkan kesalahan selama kesalahan tersebut tidak berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta‘ala. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik.” (QS. Fuṣṣilat/41: 34)
“Allah tidak akan mematikannya sehingga ia menegakkan agama yang bengkok dengan risalah yang dibawanya...” Yakni agama Ibrahim as., karena agama itu telah bengkok pada zaman fatrah (kekosongan wahyu). Pada waktu itu, agama telah ditambah, dikurangi dan diubah dari asalnya. Kejadian ini berlangsung secara terus-menerus sampai Rasulullah saw. meluruskannya, dengan menghilangkan kemusyrikan dan menegakkan kalimat tauhid “lā ilāha illallāh” (tidak ada tuhan melainkan Allah). Dengan kalimat tauhid itulah, Allah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup.
Menurut Abu Abdullah Al-Bukhari, penjelasan hadis di atas merupakan perkataan majazi (kiasan) yang dikemukakan oleh Abu Ubaidah. Adapun kandungan hadis tersebut tidaklah bertentangan dengan firman Allah Ta‘ala:
“Dan engkau tidak akan dapat memberi petunjuk orang buta dari kesesatannya.” (QS. An-Naml/27: 81)
Ayat di atas jelas menyatakan bahwa Nabi saw. tidaklah dapat memberikan petunjuk dengan sendirinya. Adapun Nabi saw. sebagai faktor penyebab turunya hidayah tidaklah diragukan lagi, karena di dalam Al-Qu'an Allah Ta‘ala berfirman:
“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syūrā/42: 52)
Keterangan dikutip dari Al-Qasthalani, Jilid IV halaman 51-52
Sumber : Buku “Kumpulan Hadits Qudsi”